Jakarta

18 1 0
                                    

Perlahan ia berjalan menuruni anak tangga, meninggalkan kapal terbang yang baru saja membawanya jauh dari realita hidup yang penuh perjuangan. Sejenak ia ingin melepas penat yang sudah menumpuk berat di pundaknya.

Senyum indah tergores di wajahnya. Mata berbinar bagai elakshi.

"Setelah penantian panjang, akhirnya aku di sini," ucapnya di dalam hati.

Aluna, seorang gadis berdarah Sumatera, mampir sebentar ke Jakarta. Ibukota yang penuh gejolak kehidupan. Apa tujuannya datang ke sana? Mengadu nasib seperti mereka pada umumnya?

Banyak yang seperti itu. Jauh dari kampung halaman, menuju Jakarta yang mereka pikir lebih menjanjikan. Apa mungkin ada padang ilalang penuh emas di sana?

Tapi tenang bukan itu yang Aluna cari. Kalian tidak perlu risau, takut akan menambah saingan penakluk ibukota. Ia hanya sedang mengikuti kata hatinya yang pernah berbicara padanya beberapa bulan yang lalu. Suara hati yang terisak menahan perih karena tiap saat bertengkar dengan logika. Suara hati yang merintih menahan lara.

"Fara, kamu dimana?". Aluna mengirimkan pesan singkat kepada seorang sahabat.

Fara sudah menetap tinggal di Jakarta, setelah kelulusannya dari salah satu kampus seni di Bandung. Dia adalah seorang sahabat yang senantiasa bersama Aluna.

Selama tiga tahun di SMP mereka selalu duduk bersebelahan di kelas, di urutan paling depan. Jadi anak rajin ceritanya. Rumornya sih begitu. Anak rajin duduk paling depan, yang selalu memerhatikan guru dan selalu aktif menjawab pertanyaan dari guru. Deretan tengah bisa dibilang yaa untuk mereka yang juga setengah-setengah. Setengah moodnya untuk belajar, sisa setengahnya lagi ingin santai. Sedang urutan paling akhir ialah mereka yang sama sekali tidak punya mood untuk belajar.

"Sebentar. Lima belas menit lagi aku tiba di sana," jawab Fara.

Celingak celinguk memerhatikan sekitar, akhirnya Aluna memutuskan untuk keluar dari ruang kedatangan. Duduk di kursi kosong yang tidak begitu jauh dari loket tiket.

Cuaca hari itu cukup terik, apalagi untuknya yang sekian lama berada di negara empat musim. Sudah lama keringatnya tidak bercucuran deras seperti ini. Di sana, di negara empat musim itu mana pernah seperti ini. Maklum kebanyakan memang bercuaca dingin.

Dari kejauhan Aluna melihat seorang gadis berjalan cepat menghampirinya. Seorang gadis berperawakan tinggi, mengenakan kaos hitam, rambut panjang terurai ditutupi topi putih.

Itu Fara. Dia tersenyum ke arah Aluna.

"Maaf Aluna, kamu malah jadi menunggu lama."

Aluna pun tertawa.

"Hahaha..."

"Iyaa Fara, santai."

"Kalau menunggu yang pasti sih enggak apa. Sakit itu, menunggu yang enggak pasti."

Fara mengambil koper milik Aluna.

"Eh, ada apa ini?" tanya Fara kaget.

"Kok malah langsung bahas yang enggak pasti?"

Mereka tertawa lepas. Berjalan menuju ruang tunggu. Sebelumnya Fara sudah memberikan pilihan pada Aluna, mau naik kereta atau bus. Aluna memilih bus.

"Akhirnya bisa ketemu juga kita Fara."

Aluna menatap Fara, merasa tidak menyangka hal ini bisa terjadi juga. Sudah lama mereka terpisah, sudah tujuh tahun semenjak kelulusan SMP. Setelah itu komunikasi mereka hanya berlangsung via media sosial.

"Jakarta..."

"Panas, macet..."

"Kamu betah di sini, Fara?" tanya Aluna heran.

"Mau bagaimana lagi, Aluna. Kerjaanku di sini semua. Mau gamau yaa harus diterima."

Cukup lama, akhirnya mereka tiba di Terminal Rawamangun. Saat itu terminal ramai sekali ditambah sinar matahari yang tepat di atas kepala. Teriknya memuncak, gerah sekali.

"Mikirin apa sih, Aluna?"

Fara menepuk pelan pundak Aluna. Sontak ia kaget.

"Heeem... Enggak."

"Bukan apa-apa kok," jawab Aluna.

Fara tertawa, "Iyaa abis ini kita langsung makan enak kok."

"Enggak usah khawatir, Aluna."

"Aku akan ajak kamu ke restaurant paling enak di sini."

Aluna pun ikut tertawa. Sebenarnya "Rawamangun" itulah yang membuat Aluna terdiam sebentar. Ia teringat akan suatu hal yang sangat familiar untuknya. Sesuatu yang sangat dekat, atau mungkin lebih tepatnya "sempat dekat".

Ingatan itu membuat Aluna menyelam ke memori-memori indah yang dulu selalu berhasil membuatnya tertawa. Namun seketika langsung mengubah tawa menjadi lara.

Semua memori itu sekarang ingin dia hapus, hilang, jauh dan tidak pernah muncul lagi dalam ingatannya. Tapi seketika, setelah adanya "Rawamangun" tadi, memori itu muncul lagi.

"Jakarta, Rawamangun..."

"Harusnya di sini ada kita."

"Harusnya di kota ini kita bertemu."

AMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang