If it's only a nightmare,
then it should disappear
when i wake up.
But, it's not.***
Sia mengerjapkan matanya, merasa asing namun juga akrab dengan tempatnya berdiri saat ini. Dinding putih itu, gorden abu, layar dengan teknologi canggih. Di mana ini?
"Auh! Sakit Glo!"
Sia refleks memutar tubuhnya mendengar seruan itu. Pertanyaannya terjawab. Ia berada di sebuah ruang kelas. Lihatlah di depan sana, ada lebih 20 siswa tengah membuat kerumunan, memusatkan perhatian pada seorang siswi yang terduduk di lantai dengan wajah pucat pasi.
Sejak tadi Sia kenyang mendengar banyak sekali umpatan dan cemohan yang terlontar.
"Anjing lo yah!!"
PLAK!
Wajah cewek itu memerah, sudut bibirnya berdarah. Entah sudah tamparan keberapa yang ia terima barusan.
"Hajar Ven!"
"Damn Venus! Namparnya nafsu banget."
"Yah jelas, siapa suruh tuh anak cari masalah sama mereka."
"Gue juga kalau dikasi kesempatan pengen banget cakar muka dia."
"Kesempatan? Lo semua punya itu. Just do it guys."
Dari nada cowok tadi, itu tak terdengar seperti sebuah tawaran. Melainkan sebuah perintah. Mata tajamnya seolah mengatakan "Pukul dia atau lo yang gue pukul."
"Tapi itu bibirnya berdarah."
"She deserve it."
Mereka saling tatap hingga selang beberapa menit kemudian, banyak dari siswa itu melangkah mendekat.
Memukul. Menjambak. Menampar. Menendang. Secara bergiliran. Tiada ampun sama sekali.
Gadis yang barusan dijadikan samsak seisi kelas itu pun sudah terbaring mengenaskan di lantai kelas yang dingin. Wajah putihnya penuh lebam, bibir pucatnya bergetar, matanya yang bengkak sebelah tak berhenti mengeluarkan air mata.
Ia meringsut, berusaha menggapai ponselnya yang baru saja berdering. Dengan harapan orang yang menelfonnya itu bisa membantunya keluar dari neraka berkedok neraka ini.
"Akh!!" jeritnya tertahan ketika jemari mungilnya diinjak oleh sepatu heel boots dari merk ternama.
Gadis itu mendongak, menatap gadis berkacamata yang menyiksanya itu tengah tersenyum seraya menambah tekanan pada injakan kakinya.
"Sa—kit" rintihnya hampir tak terdengar.
Sia melangkah mendekat, nampak tak suka dengan pemandangan di depannya. Ia memang belum tahu perkara mengapa gadis itu sampai mendapat perlakuan seperti ini. Tapi tetap saja, keroyokan bukanlah tipe Sia. Baginya, itu hanya dilakukan oleh para pecundang.
Tapi tunggu!
Kenapa kaki Sia tidak bisa digerakkan?
Berulang kali ia coba, namun nihil, kakinya seperti menempel erat dengan lantai.
Sia menatap kakinya dan wajah gadis tadi silih berganti. Merasa frustasi melihat bagaimana sekarang gadis itu ditanggalkan seragamnya sedang ia tak bisa berkutik sama sekali. Terlebih kini pandangannya menjadi buram.
Hal terakhir yang ia lihat adalah bibir gadis itu yang terbata mengucap tolong padanya, yah.. pada Sia yang tak bisa apa-apa.
"Sia... Wake up sweetheart. Alan is waiting for you."
Sia menggeliat pelan. Otaknya memproses dengan cepat siapa yang barusan memanggil namanya.
Ternyata Andreas, papanya.
"What happened?"
Gadis dengan mata berair itu tak lantas menjawab, ia mengulurkan telapak tangannya. Andreas yang mengerti lekas meraih botol berisi pil dan menuangkannya di tangan penuh keringat itu.
"Are you okay?" tanya Andreas setelah Sia selesai dengan pil-pil itu.
Sia menggeleng lemah. Ia menengadah, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hitam pekat, sebelum kemudian akhirnya berucap "the nightmare is coming papa."
Mimpi buruk itu. Mimpi yang sudah datang berulang kali selama 2 tahun terakhir. Mimpi buruk yang menjadi awal mula cerita ini, cerita tentang Sia, tentang kelas unggulan dan segala perisitiwa naas di dalamnya.
• NIGHTMARE •
Finally!
Here we goooo!!!!
Siap bergabung bersama Sia memecahkan mimpi buruknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare
ChickLit[15+] Dalton High School. Sekolah elit nomor 1 di negeri ini. Puluhan ribu pendaftar tiap tahun. Ratusan penghargaan tiap bulan. Langganan juara olimpiade. Siswanya bergiliran jadi sampul majalah pendidikan. Di DHS ini, kalian akan menemukan 3 golo...