ft. Kim Doyoung
Tentang arti keluarga, pengorbanan, kehilangan, cinta, persahabatan, dan pengkhianatan.
________________________________________
Mungkin, tidak ada lagi nama Wening Arawinda Gayatri sejak 2011 kalau Damar Rakabuming Jalada tidak lewa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝗗𝗶 𝗕𝗮𝘄𝗮𝗵 𝗧𝗲𝗿𝗽𝗮𝗹 𝗦𝗮𝘆𝗶𝗱𝗮𝗻, 𝟮𝟬𝟭𝟭
Raga ini kehilangan nilai. Memang, seharusnya aku tidak mengamini kalimat tadi. Tapi, mau dibagaimanakan lagi? Semua rancangan tertata yang dulu kusebut mimpi, sekarang bertransformasi menjadi angan kosong dalam hitungan menit.
Aku tahu kalau setumpuk penyesalanlah yang kutanggung. Dan sudah tahu begitu, masih mau kutambah dengan segunung dosa lain.
Kata orang, neraka adalah hal yang paling menakutkan. Dulu, pendapatku juga sama dengan mereka. Tapi sekarang, memilih nekat untuk melanjutkan hidup di tengah amuk dan caci maki masyarakat, nyatanya jauh lebih menyeramkan.
Untuk kesekian kali, di malam hampa tanpa cahaya rembulan ini, aku menghela napas berat. Mataku masih memejam, tidak minat untuk menelisik. Lagi-lagi, batinku berkecamuk. Bingung dan ragu setengah mampus.
Apa di bawah sana airnya mengalir sederas suara yang kudengar sekarang? Dangkal atau dalam? Keruh atau jernih? Banyak bebatuan lancipnya atau tidak? Sialan! Apa seperti ini yang dirasakan oleh mereka yang mencoba mengakhiri hidupnya sendiri?
Semilir angin malam yang menyapu anak rambut dari wajah, spontan membuatku mengeratkan cengkeraman pada baja karatan ini. Hawa dingin ikut merasuk helai kaos tipisku yang kekecilan.
Hei, Wening! Kamu ini jadi mendaftar neraka jalur undangan atau tidak, sih? Kok ragu-ragu? Suara utusan si jahat menggema.
"Niatnya saya mau pura-pura sakit biar nggak ikut ronda ...."
"IBUK!" aku menjerit saat celetukan tidak diundang itu tiba-tiba menyapa gendang.
Dadaku bergemuruh lagi. Setelah mengatur napas dan meyakinkan kalau kaki dekilku masih menapak sisi jembatan beton, aku membuka kelopak mata perlahan.
"Masih ada niat untuk hidup rupanya."
Kepalaku menoleh cepat ke sumber suara dan langsung mendapati seorang taruna bersandar pada pegangan jembatan yang kucengkeram di sebelah kanan.
"Sudah coba kopi di Bingkai Asa belum? Dari tanggal satu sampai lima besok, ada promo setengah harga untuk pembeli yang membawa wadah minum sendiri."
Aku mendengus tidak percaya. Apa taruna ini bercanda? Apa tidak ada niatan untuk menenangkan atau sekadar menanyakan apa yang sedang aku rasakan? Dasar apatis! Pantas saja kasus bunuh diri meningkat dalam satu dekade terakhir ini.
"Sebenarnya saya bisa buka kedainya sekarang. Tapi maaf, kalau Mbak nggak sempat bawa wadah minum sendiri, harus bayar full ya?"