𝗦𝗮𝗺𝗯𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗞𝗮𝗿𝗮, 𝟮𝟬𝟭𝟭
Sudah hari kedua taruni berambut kusut itu hanya duduk melamun di kursi jati, di dalam kamar berukuran 3 x 4 berwarna coklat muda. Kamar lama Yashinta. Pandangannya tidak jatuh pada apa pun di luar jendela sana. Pikirannya mogok.
Getar ponselnya sengaja tak digubris. Wening belum mau bertegur sapa dengan realita, kalau Risma, teman semejanya tengah dirundung cemas.
Gendangnya mendengar suara langkah kaki si pemilik rumah. Kembali egois, dengan kurang ajar Wening cepat-cepat merebah. Berpura-pura terlelap.
Kriet ....
Dara yang setahun lebih tua dari si pengungsi itu menghela napas lirih. Jujur, ia hampir kesal. Mengapa niat baiknya untuk mengantar makanan dan susu kedelai selalu bertemu dengan tubuh kurus yang sedang beristirahat?
"Terus aja nipu gue, Ning. Tapi tolong, jangan perut lo."
Suara nampan yang mencium meja kaca terdengar setelahnya. Lalu, pintu kembali ditutup.
***
Hari ketiga, dan taruni yang semakin kurus itu masih duduk meringkuk di atas kasur. Batinnya sedikit lega, karena si empunya rumah terlalu peka kepadanya, sehingga mogok untuk mengajak bicara. Walau begitu, nampan dengan ukir bulu merak tak pernah absen dari meja kaca.
Sorot kelabunya diam-diam masih mengingat dengan jelas, bagaimana perkataan Bapaknya di ruang BK tempo lalu menjadi kenyataan.
Didekapnya lagi raganya yang beberapa bulan lalu semestinya sudah ditemukan mengambang di pinggir Kali Code. Lalu teringat bayang-bayang seorang adam yang menghalau niatnya dengan menawarkan kopi gratis, begitu mulus. Adam yang sama pula, yang tempo lalu membabi buta teman Bapaknya.
"Dia lihat aku di kondisi seperti itu. Orang lain lihat aku .... Pasti merasa jijik," batinnya memutuskan sendiri, seperti biasa.
Brak!
Tersentak ke sudut kamar dan langsung menutup telinga, ternyata tak mampu meredakan kekesalan yang sudah mengubun di kepala si pendobrak.
"Gue keroncongan karena dari kemarin juga mogok makan, Ning. Jangan egois, boleh nggak? Nggak apa-apa nganggep gue momok atau nggak ada. Tapi, please ... don't force yourself like that. You hurt me too," lirih Yashinta di akhir kalimat.
Setengah menit ... semenit ... dua menit ....
"Asal lo tahu, sebenernya kemarin gue dah gedeg banget. Gue nggak maksa lo cerita, selalu siapin makan, kasur juga empuk, 'kan? Tapi selalu diabaikan. Jujur, mau marah ... tapi nggak bisa sama adek sendiri."
Yashinta menghela napas frustasi. Kuku-kuku jarinya menggerus kenop pintu perlahan. Tatapannya belum beralih dari landak di sudut ruangan yang mengalihkan pandang, seakan ia benar-benar berduri dan tak mau disentuh. Yashinta memejamkan mata selama beberapa detik, sebelum kembali menutup pintu. Kali ini, sengaja ia keraskan sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piringku dan Mangkukmu ft. Kim Doyoung
Teen Fictionft. Kim Doyoung Tentang arti keluarga, pengorbanan, kehilangan, cinta, persahabatan, dan pengkhianatan. ________________________________________ Mungkin, tidak ada lagi nama Wening Arawinda Gayatri sejak 2011 kalau Damar Rakabuming Jalada tidak lewa...