Make Your Day | 01
Ana
Ah, akhirnya.
Tiga tahun lebih sepuluh bulan, gue akhirnya berhasil lulus. Banyak orang yang sepertinya nggak percaya kalau gue udah lulus karena mungkin usia gue yang bisa dibilang masih cukup muda, baru dua puluh dua tahun.
Gue juga sebenarnya nggak ngerti kenapa bisa lulus secepat dan semulus ini. Kayak... yaudah. Gue bersyukur aja karena Tuhan udah terlalu baik sama gue. Kalau kalian penasaran apa yang bakal gue lakukan setelah ini, sama sebenarnya, gue juga penasaran.
Gue mau ngapain lagi ya setelah ini?
Kerja kantoran? nggak minat deh. Apa gue jadi editor dikantor penerbit aja? Apa gue harus jadi pemandu wisata karena gue lulusan Sastra Indonesia?
Nggak. Sepertinya nggak untuk semuanya.
Mungkin gue akan terus nulis aja. Bikin buku, lalu jadi pembicara di berbagai tempat seperti apa yang biasa gue lakukan. Ya, mungkin akan begitu aja, entah sampai kapan.
Baru aja bingung sendiri mau ngelakuin apa setelah udah dua bulan lulus, ponsel gue berdering, dari nomor nggak dikenal, siapa ya kira-kira?
"Halo?"
"Selamat malam. Apa benar ini dengan kak Ana?"
"Oh selamat malam, iya saya Ana, dengan siapa, ya?"
"perkenalkan kak, namaku Mia. Siswi kelas delapan SMP Maha Bakti."
SMP Maha Bakti? Itu kan SMP gue dulu, ada apa ya, kok telepon malam-malam begini.
"Ohh anak Maha Bakti, ada yang bisa kubantu, Mia?"
"Begini, kak. Sekolah kami akan mengikuti lomba film pendek dan kami butuh bantuan kak Ana. Apa kakak bisa datang ke sekolah hari Sabtu ini? Nanti akan dijelaskan lebih detail, Kak."
"Sabtu ini aku kosong, sih. Boleh deh. Aku harus ke sekolah jam berapa, Mi?"
"Sekitar jam sebelas bisa, kak."
"Oke, sampai ketemu di sekolah, ya."
"Baik kak, terima kasih banyak ya, kak. Selamat malam."
"Selamat malam."
Dulu waktu SMP gue memang jadi salah satu murid yang diandalkan sama guru-guru, tapi gue nggak nyangka kalau bahkan setelah sekitar tujuh tahun gue lulus, mereka masih mencari gue. Jujur ketika tadi Mia telepon, gue seneng banget karena akhirnya bisa main lagi ke SMP sekalian nostalgia.
Ketika sabtu nanti gue ke sekolah, gue nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi setelahnya. Disana, seperti ada separuh dari diri gue yang tertinggal dan akan selamanya berada disitu. Karena pada kenyataan nya, sejauh apapun gue pergi, sebanyak apapun gue bertemu orang baru, ketika kembali kesana, SMP Maha Bakti, gue akan kembali menjadi Ana yang dulu. Ana yang jatuh cinta dan pula telah kehilangan cinta nya disana.
Gue cuma berharap nggak akan bertemu dia. Gue udah move on, seharusnya itu bukan jadi masalah. Tapi tetap aja, dia nggak seharusnya muncul lagi di hadapan gue.
--
Hari ini hari sabtu, dan sekarang gue udah ada didepan pintu gerbang sekolah. Haaahhh, kangen banget rasanya. Sabtu gini sekolah sepi karena murid-murid pada libur, gue langsung aja ketok pagar nya dan nggak lama ada Pak Satpam yang menghampiri gue dari dalam.
"Loh, ini neng Ana kan, ya?"
Namanya Pak Kosim, terakhir kali gue bertemu beliau, waktu kelas sepuluh saat gue kesini untuk ambil ijazah, Pak Kosim belum seperti sekarang ini. Usia nya memang udah nggak muda lagi waktu itu, tapi sekarang gue sedikit pangling karena rambutnya yang mulai memutih.
Di banding dengan teman-teman seangkatan yang lain, gue memang jarang main ke SMP bahkan untuk sekedar temu kangen sama para guru. Seperti yang tadi gue bilang, terakhir kali gue kesini itu waktu kelas sepuluh, sedangkan teman-teman gue bahkan ada yang udah kuliah tapi masih suka main kesini.
Gue hanya nggak mau, atau mungkin tepatnya, nggak bisa. Sedih gue nggak selesai-selesai kalau sering main ke tempat ini.
Setelah pintu gerbang nya dibukain, gue masuk dan salim ke Pak Kosim sambil tersenyum hangat, "Ih kok bapak masih inget aja sama saya? Apa kabar, Pak?"
"Wajahnya neng Ana mah khas banget atuh, mana bisa bapak lupa. Bapak alhamdulillah baik, neng. Neng Ana kumaha? Sehat?"
"Saya gini-gini aja pak hehehe, alhamdulilah sehat."
Baru aja gue mau permisi ke Pak Kosim karena mau langsung ke ruang guru, suara Pak Kosim seketika bikin gue menahan napas.
"Loh ini Bani juga ikut dipanggil sama guru-guru, kah?"
Nama itu.
Gue berbalik dan, ya, orang itu disana, dia berdiri tepat tiga langkah dibelakang gue.
Mungkin gue salah. Nggak seharusnya gue menceritakan dia sama kalian. Yang gue harapkan adalah untuk nggak pernah ketemu sama dia lagi, tapi sekarang sosok nya tinggi menjulang dibelakang gue. Takdir macam apa ini?
Setelah enam tahun, dua minggu lalu gue memutuskan untuk mengajaknya bertemu di salah satu coffee shop. Bukan untuk meminta dia kembali lagi, bukan pula untuk bilang ke dia kalau gue kangen setengah mati.
Gue hanya mau menyelesaikan semuanya. Hubungan gue dan dia—gue agak takut untuk menyebut kata 'kita', memang sudah berakhir enam tahun lalu, tapi itu nggak berlaku untuk perasaan gue.
Perasaan gue masih sama, sama persis ketika pertama kali gue tahu kalau gue menyukainya. Kalau kalian tanya kenapa gue selalu menulis cerita sedih, sekarang jawabannya terlihat jelas, kan?
Ya, dia. Bani jadi satu-satunya orang yang membuat gue bisa berdiri sekarang, menulis, dan tulisannya dibaca banyak orang. Kalau Bani nggak memberi gue segudang kesedihan yang sampai bikin gue rasanya mau mati, mungkin kalian nggak akan mengenal gue. Mungkin orang-orang nggak akan pernah tahu siapa itu Ana.
Gue menulis cerita sedih bukan semata-mata karena gue pintar membuat ceritanya, itu semua karena sedikit banyak hal yang gue tulis, itu pernah benar-benar terjadi sama kehidupan gue dan Bani.
Setelah hubungan kita selesai, Bani benar-benar pergi dari hidup gue. Sekolah dia lancar, punya pacar baru dan dengan terang-terangan memberi tahu gue kalau pada saat itu dia udah memulai hidupnya yang baru. Dan gue, kalian bisa tebak gue gimana?
Saat itu, setiap lihat wajah Bani—walau cuma dari layar ponsel, gue selalu menangis. Gue masih menyimpan semua barang-barang pemberiannya. Gue sering menulis surat untuk dia. Dan yang paling aneh, jidat gue sekarang bentuknya nggak karuan akibat sering terbentur, itu karena gue kelewat sering melamun dan nggak sadar sama sekitar.
Berulang kali teman-teman meminta gue move on, sampai ngenalin gue sama teman-teman cowok mereka, dan berulang kali juga gue bilang ke mereka kalau gue bukan nggak bisa move on, tapi gue nggak mau. Gue nggak ingin melakukannya.
Tapi selayaknya mesin yang terus menerus dipakai tanpa henti dan berakhir rusak, gue pun juga begitu.
Selama kurang lebih tiga tahun menjalani hidup yang lumayan menyedihkan ini, gue akhirnya capek. Gue marah sama diri sendiri karena dengan terus mengingat Bani, gue nggak akan pernah benar-benar melangkah maju.
Maka pada saat memasuki tahun kedua perkuliahan, gue memutuskan untuk berhenti.
Berhenti menunggu pesan dari dia, berhenti menuliskannya surat, berhenti menangis walau susah setengah mati, gue coba untuk berhenti.
Dan alasan kenapa gue meminta untuk bertemu sama Bani dua minggu lalu, adalah karena gue ingin mengembalikan apa yang menjadi kepunyaan nya.
||
ada yang bisa tebak siapa visualisasi Bani???
tenang aja, bab selanjutnya kalian nanti ketemu Bani, kok.
jangan lupa vote dan comment nyaa!💚
![](https://img.wattpad.com/cover/239781969-288-k967039.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Your Day | Kim Doyoung
FanfictionPerkara move on memang nggak akan ada habisnya, persis kayak yang lagi Ana jalani selama beberapa tahun terakhir. Lupa, ingat lagi. Lupa lagi, sebulan setelahnya, ingat lagi. Terus menerus begitu seakan nggak ada habisnya. Ana sadar betul kalau sebe...