1. Sebuah Hadiah

28 14 0
                                    

Awalan yang membuatku berfikir betapa indahnya sang masa depan.

*****

Jakarta, 2010

Sinar matahari perlahan mengeluarkan cahaya, memasuki celah-celah jendela kamar milik putra tunggal dari keluarga Megantara. Lelaki itu mulai mengerjapkan mata sebelum membuka lebar mata elangnya. Ia melirik kalender yang terpasang rapi di meja sisi tempat tidurnya kemudian membuang nafas berat.

“Selamat pagi senin, selamat ulang tahun Ucup.” Ujarnya sembari turun dari ranjang tempat tidur.

Tok..

Tok..

Tok..

“Mas Ucup cepetan mandi, seragam putih abu-abu untuk upacara sudah siap.”

Suara wanita paruh baya terdengar di balik pintu kamar Ucup.

“Iya budeh ini aku lagi mau mandi..” Sambil berjalan menuju kamar mandi.

Setelah hampir tiga puluh menit Ucup menyiapkan segala kebutuhan sekolah dari mulai menjadwal pelajaran hari senin yang baginya sangat menyenangkan karena akan bertemu pelajaran kesukaannya yaitu fisika.

Dengan kacamata bulat yang menghiasi matanya, perlahan Ucup berjalan ke arah meja makan sambil membawa tas sekolahnya yang bisa di bilang cukup berat.

“Selamat pagi mas Ucup.” Sapaan dari budeh Mina, asisten rumah tangga keluarga Megantara.

“Selamat pagi budeh, mama sama papa mana?”

“Mama pagi-pagi tadi sudah berangkat ke rumah sakit katanya ada jadwal operasi, kalau papa sedang ada penelitian mas.”  Ujar budeh Mina yang sedang menyiapkan sarapan.

Ucup hanya menganggukan kepalanya mendengar penjelasan dari budeh Mina. Baginya hal seperti ini sudah biasa, hampir di pagi hari tidak melihat mama dan papanya. Ia adalah anak tunggal dari Serina Megantara seorang dokter bedah di rumah sakit daerah Jakarta Selatan dan Herman Megantara seorang professor di Universitas Indonesia.

Ucup terlahir dari orang tua yang sama-sama sibuk, itulah yang membuatnya menjadi anak yang pendiam dan sering menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku sains terutama buku fisika dan kimia.

“Selamat ulang tahun ya Mas Ucup.” Ucap budeh Mina tersenyum lebar.

“Lagi-lagi budeh yang mengucapkan duluan haha.” Tukasnya

“Ih ya gapapa dong budeh lebih gercep dari cewek dan teman-temannya mas ucup.”

“Cewek dan teman  apaan budeh.” Sangkal Ucup sambil membenarkan kacamata bulatnya.

“Ucup berangkat dulu, makasih sarapannya budeh.” Berjalan keluar sambil menenteng tasnya.

“Hati-hati mas Ucup.”


***********

“Awas-awas Ucup Megantara si kutu buku mau lewat!”

“Beri jalan beri jalan! haha.”

“Eh lihat depan dong kalau jalan, kacamatanya dibenerin dulu biar gak melorot.”

“Huahaha..”  Tawa sinis mereka dengan jelas masuk ke telinga Ucup.

Ledekan dari teman-temannya seperti ini  seakan menjadi makanan setiap hari baginya, entah apa yang membuat mereka gemar meledek Ucup. Di sekolahan Ucup hampir tidak punya teman sama sekali, Ia hanya bisa diam tanpa pembelaan diri ketika teman-temannya mulai meledek dirinya.

‘Tett…’

‘Tett…’

‘Tett…’

Lonceng sudah berbunyi, menggemakan seisih sekolah. Murid-murid lekas berhamburan keluar kelas menuju lapangan dengan menggenakan seragam putih abu-abu dan atribut lengkap bersiap untuk mengikuti upacara bendera hari senin. Ucup berada di barisan paling depan dan mengikuti serangkaian kegiatan upacara hingga selesai.

MELODY SMA (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang