02

1.4K 137 3
                                    


"Lagi? Tak bisakah kau bersikap normal padaku?" dan balasan dari kalimatnya adalah kilatan oniks yang mengancam.

"Turun."

"Hey! Aku menunggumu dari tadi dan kau, Baiklah." Dia menyerah saat oniks itu terasa membakarnya. Surai merah mudanya berkibar di terpa angin saat tubuhnya meninggalkan mobil Sasuke.
"Aku akan mengunjungimu lain kali." Ia bahkan dengan percaya dirinya
mengangkat tangannya. Menunjukkan
cincin di jari manisnya. Dia gila. Biar saja. Asal dirinya selalu menatap Sasuke. Selalu. Sesulit apapun jalan yang di laluinya.
"Oke. Kau tetap dingin. Tak apa setidaknya kau mengantarku pulang." Terakhir dia menatap mobil yang di kendarai Sasuke melaju pergi.
Berharap ada kenangan manis yang
dirinya ciptakan bersama dengan Sasuke. Namun sayangnya pemuda itu sedingin es.

Seperti ada tembok kuat yang melindungi hati pria itu hingga tak tersentuh.
"Padahal aku selalu ada untukmu di
Berlin. Hah kau lupa?" biarlah dia bicara dengan angin karena Sasuke tak ada di sana. Setidaknya dirinya sudah berusaha meski tak ada hasilnya hingga detik ini. Salahkan lelaki itu yang lebih dulu menghampirinya saat itu. Saat dirinya di Berlin hingga sampai detik ini sulit baginya mengabaikan wajah dewa Sasuke.
"Aaahh aku rasa gila karenamu
Sasuke-kun." tak peduli pada apapun. Dia akan berusaha mengejar Sasuke.

...

"Sakura. Akhirnya kita bertemu."
Dengan wajah tergambar bahagia. Sasuke bersuara membiarkan luapan bahagianya membuncah saat surai merah muda itu bergerak oleh angin.
Saat tubuh itu berbalik. Saat wajah itu
terlihat adalah saat di mana hatinya
kecewa. Di mana bahagianya sirna bersama angin yang menghilang.
Itu bukan Sakura. Dan dia salah orang.
Iris merah itu menatapnya penuh tanya sebelum berubah memuja.

Sasuke melangkah mundur. Membiarkan oniksnya menyorot dengan datar kali ini. Meski
wanita itu tak bereaksi sedikitpun.

Kilatan ingatan yang tak ingin dia lihat
lagi malah kembali terlintas di ingatannya.

Sasuke benci ini. Benci saat dirinya selalu merasa tak bisa melakukan apapun untuk menemukan Sakura. Fakta baru yang di ketahuinya semakin membuatnya tersesat dalam sesak yang panjang.

Jadi Sakura hamil. Untuk itu dia pergi kan?

Siapa yang bisa menjawabnya sekarang?

Tidak ada. Hanya orang itu. Gadis itu.
Wanita itu yang bisa menjawabnya. Lalu bagaimana caranya? Sasuke bahkan tak tau Sakura dimana.

Sakura.

Ribuan kali nama itu terucap. Ribuan kali untaian itu terucap. Tapi tak ada yang menjawabnya. Sekali lagi tak ada yang akan menjawabnya.
Dirinya hanya akan setia bersama
keheningan yang terasa abadi.

Ia menundukkan kepala hingga surai
gelapnya menyentuh wajahnya. Wajah
yang tak bergairah lagi. Tak ada gairah
bebas di sana. Gairah haus akan
perkelahian dan gairah nafsu yang
membutakan. Karena sekarang semua
tak sama lagi. Kepala itu sedikit bergerak, menatap beberapa mobil yang melewati mobilnya yang berhenti di pinggir jalan tak jauh dari
posisinya. Orang itu masih sama. Masih
dengan wajah palsu dan penuh tipu
muslihat. Sasuke melihat Sai di sana.

Sejak kapan?

Sasuke berdecak keras. Merngurusi Sai yang tiba-tiba muncul bukanlah hal penting.

Anggap saja Sai adalah Narkoba yang telah menjeratnya. Membawanya pada dunia hitam yang tak bercela. Melayang dan membuat pikirannya tenang abadi dengan melakukan kebodohan. Membawanya pada kesalahan yang mungkin tak akan terbayarkan.

"Seharusnya kau menjawab panggilanku."

Itachi menyambutnya di depan pintu saat Sasuke tiba di rumah.

"Aku sibuk." Sasuke menjawab datar.

The Last WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang