06

1K 121 5
                                    

Tiap kalimat yang keluar dari bibirnya
adalah pisau yang menancap dan
menggores hati Mebuki. Ibu mana yang
tak terluka mengetahui bahwa salah satu putrinya telah hancur. Ibarat cermin yang telah melebur bersama debu. Tak bisa kembali utuh lagi. Bisa
dikatakan Sakura hanya raga, nyawa tak ada lagi di sana. Namun satu yang Mebuki syukuri, Sakura masih bisa bertahan hingga detik ini.

"Jangan menangis ibu." biarkan
kalimatnya menjadi tembok rapuh untuk menjaga air matanya sendiri. Sejujurnya Sakura tak lagi bisa bersuara saat mengenang masa lalu.
"Aku mencoba untuk berdiri di sini,
bersama ibu." sebesar usahanya untuk
menghentikan air mata sang ibu pada
akhirnya kala juga. Sakura memeluknya. Mencoba membuktikan kalau dirinya baik-baik saja sekarang.

"Seharusnya kau tetap di sini bersama
ibu. Seharusnya ibu tak membiarkanmu pergi." dirinya salah telah melepas Sakura. Anaknya hanya semakin tenggelam dalam lautan luka.

"Berat untuk menentang takdir ibu.
Semua itu sudah terlukis untukku." dirinya melakukan semua untuk masa depan keluarganya sendiri. Demi menjaga nama baik mereka. Sakura juga tak akan pergi jika tau akhirnya akan seperti ini.

Dia terluka. Ibunya terluka. Karin terluka. Dan Sasuke terluka. Dulu. Karena sekarang Sakura berharap lelaki itu bahagia.

Bersama wanita lain.

Meski apa yang lelaki itu ciptakan dalam hidupnya tak akan pernah terhapus. Kenangan itu begitu indah untuk di lupakan namun begitu pahit rasanya.

...

Oniksnya tersembunyi saat kelopak mata itu memejam dengan erat. Lebih tepatnya menghidari iris biru yang siap
membunuhnya detik itu juga. Kenapa
semua harus di sembunyikan? Hari ini
Sasuke mengatakan semuanya. Lima
tahun cukup baginya menyembunyikan kenyataan.

"Kau. Gila." kata yang diproses oleh bibir Naruto hanya itu. Walau dirinya tau sebejat apa Sasuke dulu. Sekarang dirinya sungguh tak menyangka.
"Kau benar-benar gila." Ulang Naruto dengan memasang ekspresi tak tenang.

Penyesalan tak akan mengubah keadaan. Sasuke tau itu. Setidaknya dia telah berusaha untuk memperbaiki kesalahan.

"Ku pikir jiwa Sai tak ada dalam dirimu. Ternyata Aku salah, Sasuke." seakan kalimat selanjutnya membuatnya kelu namun Naruto tak bisa menahannya lagi.
"Kalian sama bajingannya." setelahnya bibirnya tertutup. Naruto memindahkan irisnya pada iris
mutiara yang menyorotnya dari jauh.

"Aku berusaha memperbaikinya." Ya, setidaknya Sasuke berusaha.

"Tapi itu sulit?" Berkata namun Naruto
tak melihat Sasuke. Sosok di depan
sana membuatnya bertanya dalam hati. Apa yang Hinata lakukan di sini? Di kafe ini. Fokusnya mulai terbagi saat
melihat wanita lain mendekati Hinata.
Menyapanya dan menarik atensi Hinata darinya. Baiklah, sekarang waktunya dia menceramai Sasuke.
"Penghalang pasti ada. Kau mengatakan dirimu telah berubah. Menyingkirkan penghalang itu urusan kecil bagimu kan?"

Naruto benar. Tayuya penghalangnya. Sikap diamnya selama ini bukan berarti dirinya tak melakukan apapun. Sasuke hanya tidak mau jiwa liarnya kembali merasukinya hingga melukai hati wanita lain. Sadar kalau dirinya begitu lemah sekarang setelah menghancurkan hati seseorang.

"Kau tidak akan bisa membayarnya kalau kau tidak bertindak." Naruto mengangkat cangkir berisi teh hijau. Menghirupnya dengan pelan.
"Dan seharusnya kau tidak
mengatakan ini padaku,"

Sasuke melihatnya. Menunggu perkataan Naruto selanjutnya.

"Katakan ini pada Karin dan ibu Sakura." sudut bibir Naruto tertarik ketika menemukan perubahan raut wajah Sasuke. Jelas ada keraguan di sana.
"Dasar. Pecundang."

Pecundang?

Kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Sasuke mendengus. Mengalihkan tatapannya ke kaca kafe. Titik-titik salju mulai terlihat. Dingin sebentar lagi akan menguasai.
"Aku menunggu waktu yang tepat Naruto." Ia berujar sangat pelan.

The Last WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang