04

1.3K 138 24
                                    

Dirinya tak akan pernah lelah melihat
Inojin tertawa. Bermain hingga lelah dan tertidur. Inojin seperti obat yang
meredakan sakit yang bersarang dalam
tubuhnya. Senyum dan tawanya terasa membawa kedamaian tak terlihat. Bocah itu berguling-guling di atas karpet bulu di depannya bersama
anjing peliharaan Ino. Terkadang dirinya ikut tertawa melihat tingkah dua makhluk berbeda di depannya. Lihat, dia juga bisa tertawa meski denyutan sakit itu masih ada. Semua
berkat Inojin.

Sakura menahan senyum. Andai bayinya bisa selamat dan lahir di dunia ini pasti bayinya sudah sebesar Inojin yang juga memberinya kebahagiaan.

Tapi,

Ah, Sakura benci ini. Benci saat dirinya
terus tenggelam dalam masa lalu. Dia mencoba berdiri meski kedua kakinya tak mampu. Bahkan hingga saat ini dirinya masih berusaha.

Suasana gembira sedikit hilang saat suara bel apartemen berbunyi. Inojin menatap Sakura sebentar sebelum beralih pada anjingnya.

"Sakura tolong buka pintunya!"

Teriakan Ino membuat Sakura segera berdiri dan berjalan mendekati pintu sambil bergumam.
"Bahkan dirinya masih mengurung diri di kamar. Apa yang wanita itu lakukan di sana? Tebak siapa yang datang?" tentu saja itu Itachi. Kekasih dari Ino. Mereka akan kencan dan dia yang menjaga Inojin di rumah. Tak masalah. Karena Inojin memang lebih akrab padanya dari pada ibunya sendiri.
Ia Memutar handel pintu demi menatap oniks yang langsung memakunya.

Membekukan tubuhnya dan juga menahan laju udara memasuki paru-parunya.

Itu bukan Itachi.

Sakura hanya tak tau kalau wajahnya telah pucat. Tangannya dengan cepat menutup pintu namun tangan lain lebih cepat lagi menahan pintu agar tetap terbuka.

Apa yang orang itu lakukan di sini? atau apa yang Ino lakukan? Sakura yakin wanita itu merencanakan semua ini.

"Aku. Menemukanmu." Oniks itu
memancar sendu. Melukiskan kesedihan yang terlihat jelas di sana saat menyorot wajah putih di depannya tanpa sedikitpun melewati apapun di sana.

Sakura masih sama.

Melihat langkah wanita itu mundur
membuat Sasuke menelan luda. Dia bahkan tak tau harus melakukan apa agar Sakura mau bicara padanya. Rasanya apa yang telah ia persiapkan telah hilang oleh wajah wanita yang ia rindui. Dia hanya tak mau lima tahun yang terlewati bersama ketidakberdayaan tak berakhir.

Cukup lama dirinya tenggelam dalam sepi. Dan Sasuke tak mau Sakura pergi lagi.
"Kita harus bicara " ketika melihat
tubuh itu berbalik Sasuke segera menahan lengannya. Sadar kalau Sakura begitu membencinya. Melihat reaksi bergetar di tubuh itu membuatnya semakin bersalah.

Luar biasa. Sasuke luar biasa bersalah
pada wanita itu.

Dadanya memburu hingga laju nafasnya tak lagi terkendali saat sentuhan pada kulitnyacmengantarkan rasa kejut, takut dan benci datang bersamaan. Sakura menarik tangannya
dari genggaman lelaki yang sangat ingin di lupakannya. Namun tak berhasil. Tangannya malah terpenjara di sana walau tubuhnya tetap membelakangi lelaki itu.

"Sakura. Kita harus bicara."

Seakan sesak itu terulang dan semakin
bertambah. Sakura tak lagi berusaha
untuk melepaskan diri. Tubuhnya berputar untuk menatap wajah itu. Wajah yang menatapnya dengan,

Kenapa Sakura melihat perbedaan di sana?

Kemana oniks tajam itu? Dan kemana raut datar itu?

"Kurasa tak ada yang perlu di bicarakan." Sesulit dirinya bernafas, sesulit itu kalimatnya keluar.

"Aku bahkan ke Berlin mengejarmu.
Dan kau kira aku melepasmu kali ini?"
Sasuke menatapnya sekali lagi. Menatap wajah cantik itu dengan gemuruh hebat di dada.
"Seharusnya kau bilang kalau
kau," letupan itu membuang segala beban yang ada. Seakan bahagia membuncah mengingat dirinya telah menjadi seorang ayah. Meski Sasuke harus menahannya karena dirinya dan Sakura perlu meluruskan sesuatu. "Hamil waktu itu." Sasuke semakin
mengeratkan pegangan tangannya.
Menyentuh kulit lembut itu dengan sangat lembut. Sasuke sangat
ingin memeluknya. Sangat.

The Last WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang