"A-apa?" keterkejutan mengalihkan
atensinya dari putra kesayangannya.
Sekarang wajah Sakura satu-satunya titik yang menarik perhatiannya. "Sasuke serius? Tidak. Bagaimana dengan dirimu?" bahkan Ino tak bisa merangkai kata-kata dengan baik. Dia saja begitu gugupnya saat Itachi berencana membawanya ke rumah
Uchiha. Apa lagi saat dirinya menginjak rumah itu beberapa hari lalu. Ino masih ingat bagaimana sikapnya yang terus memeluk Inojin untuk menghilangkankegugupannya.Lalu bagaimana dengan Sakura? Ino yakin dirinya jauh lebih baik.
"Kau tau seperti apa diriku. Aku sangat
ragu." saat ini iris hijaunya tenggelam di lantai putih apartemen Ino."Kau tidak ragu. Kau takut."
Tepat. Ino selalu tau keadaanya. Dirinya tak bisa berkata sekarang. Cukup lama Sasuke memaksanya pergi ke rumah Uchiha namun Sakura meminta waktu.
"Jujur saja itu tidak muda. Aku bahkan
sangat gugup saat itu tapi," Ino meraih pundak Sakura. Dia juga berhasil melangkah lebih jauh bersama Itachi. Saat keraguan itu datang Itachi membantunya mengatasinya. Kenapa dia tidak bisa melakukan hal
yang sama pada Sakura?"Pergilah. Sudah aku katakan terlalu banyak waktu yang terbuang. Kau mungkin lebih baik dariku. Mereka tak akan sulit menerimamu buktinya aku saja yang memiliki Inojin dapat mereka terima. Uchiha tidak
semenakutkan itu. Mereka baik." sangat baik. Ino tak bisa lagi mengungkapkan kebaikan ibu Itachi melalui kata-kata.Terseret dalam kelabu takdir memang
bukan keinginan manusia lemah seperti dirinya. Sakura sadar ini tidak mudah meski Sasuke berjuang untuk dirinya.
"Tapi kau masih bisa memberi mereka keturunan. Bagaimana dengan diriku?" itulah masalah terbesarnya. Saat hatinya mulai terbuka di satu sisi. Tapi masih ada sisi lain yang
membuatnya ingin berhenti saja. Sasuke mungkin bukan takdirnya. Dia tak utuh. Tak utuh selayaknya wanita normal di luar sana."Yang aku tau cinta tak memandang itu. Yang aku tau Sasuke tak memandang kekuranganmu. Kenapa kau memikirkannya?"
"Bagaimana kalau kita menyebutnya
sebagai pertanggungjawaban tanpa
cinta. Dia yang membuatku tak utuh Ino." sekarang hal buruk lain berkeliaran di otaknya."Sakura jangan mulai. Setidaknya aku
melihat ketulusan Sasuke. Dan aku yakin dirimu juga." Ino tersenyum saat Inojin juga melempar senyum padanya.
"Seorang lelaki harus bertanggung jawab Sakura. Biarkan Sasuke melakukannya setelah merusakmu.""Lalu apa yang aku lakukan selanjutnya?" Ia mempertemukan iris hijaunya dengan manik lautan Ino. Ragu untuk mengambil keputusan.
"Ikuti alur hidupmu sendiri. Sasuke akan menuntunmu. Aku yakin dan kau harus yakin" setidaknya Ino memberinya solusi.
Apa lagi yang harus dirinya khawatirkan? Selamanya, Ino akan selalu menjadi teman dalam hidupnya. Teman yang telah membawanya dalam kesalahan. Sekaligus teman yang mengembalikan dirinya ke jalan yang sesungguhnya. Dirinya harus
yakin."Sakura, bagaimana?"
Semua tak akan berubah jika dirinya
tetap diam. Mungkin mengakui kalau
dirinya juga mengharapkan kebahagiaan bisa benar-benar membawanya dalam kehidupan yang sebenarnya. Dan Sakura berharap, bahagianya ada pada Sasuke.
"Aku akan melakukannya." dan ya. Dirinya akan melakukannya. Kehangatan yang Sasuke salurkan dari sebuah pelukan adalah kenyamanan yang sesungguhnya yang dirinya rasakan saat itu.Meski Sasuke yang merengguk mimpinya.
Meski Sasuke yang membuatnya tak berani menatap lelaki lain.
Meski Sasuke yang membawanya pada mimpi buruk.
Meski Sasuke yang menghapus bahagia
kecilnya. Dan meski Sasuke melukainya.Namun,
Sasuke satu-satunya lelaki yang mengajarkannya arti hidup yang
sesungguhnya,
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wound
General Fiction(Sequel of "Are You Oke?") Takdir mempertemukan mereka di sebuah kesalahan. Lalu berbuah luka yang tiada akhir meski dinding yang menghalangi telah runtuh. Dinding baru yang muncul bernama kesalahpahaman membuat mereka terpisah lima tahun. Menitip...