Bab 1

12 6 0
                                    

Hanna POV

Cinta adalah suatu hal yang tak bisa dipaksakan. Sekeras apapun kau mencoba untuk mencintai seseorang namun jika dihatimu tak ada ruang untuknya, maka bagaimana kamu bisa bahagia. Ada yang bilang jika cinta akan hadir seiring berjalanya waktu. Jalani saja dulu. Namun apakah benar menjalani saja dulu adalah sebuah solusi? Bagaimana jika hatimu masih tak tertuju padanya. Bagaimana jika kamu menjalaninya malah membuatmu semakin tak menyukainya. Jangan tergesa-gesa mengatakan cinta apalagi tentang sebuah komitmen. Apalagi jika alasanmu adalah terburu usia, yakin bahagia? Ingatlah jodoh terbaik untukmu akan datang tepat pada waktunya. Kamu hanya perlu sedikit menunggu dan perbaiki diri.

Hanna tengah menghilangkan kebosanan dengan menscroll ponselnya. Tiba-tiba pandangan mata Hanna mendelik menatap quotes seseorang penulis yang dibagikan di Instagram. "Kenapa pas sekali, wah aku nggak mau bertemu denganya." Ia mengacak-acak rambutnya merasa kesal sendiri.

Benar saja tiba-tiba ponselnya bergetar. " Dariorang menyebalkan "Bastian."

"Kamu dimana Han? Aku jemput ya."

"Tidak perlu, aku udah dijalan. Tunggu di cafe yang sudah aku sebutkan tadi."

"Oh, oke."

Tak ada aura semangat ketika Hanna menjawab telpon darinya. Pandangan matanya kosong menatap mobil-mobil yang berlalu lalang didepanya." Apa mungkin aku harus balik lagi saja."

"Mbak, ini kan tempatnya cafe yang mbak maksud?"

Mbak?" tegur sopir taksi ke kursi belakang. Ekspresinya bingung melihat Hanna yang hanya diam tak menyahut.

"Oh, sudah sampai Pak." Ia mengerjapkan matanya terkejut." Terimakasih Pak."

Tatapan mata Hanna masih mematung berdiri di luar cafe. Ia paling benci dengan situasi yang membuatnya nyaman. Namun sialnya Ia selalu menemui situasi yang tak nyaman dalam hidupnya. "Oh my god."

"Hai Ibu Guru."

Cowok yang ditemuinya sudah stand by di tempat duduk yang dipesanya. Ia memberikan senyuman cerah yang malah membuat Hanna semakin tak suka. Hanna menggerakkan jaket kedodoran dan tebal yang dipakainya. Cukup gerah melihat cuacanya yang begitu panas. Ia sengaja memakai kostum seperti itu bahkan make up pun tak memakai sama sekali. Tujuanya sudah jelas, agar cowok itu merasa ilfeel padanya.

"Halo, kenapa lihatnya seperti itu, jelek ya?"

"Ehm,,ehh cantik kok."

"I don't even trust you. Kapan sampai Bandung?"

"Tadi pagi. Jadi, nggak ada piket buat jaga atau patroli."

"Ohh."

Bastian, itulah nama cowok yang selalu disebut-sebutkan papanya akan di jodohkan denganya. Hari ini bukanlah pertamanya denan cowok yang sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua darinya itu. Saat itu papanya pernah sekali mengajaknya ke rumah. Hanna memperhatikan cowok itu sekilas sebelum membuang mukanya kembali. Cowok itu berperawakan tinggi dan tegap, cocok dengan pekerjaanya sebagai seorang polisi barangkali. Kulitnya putih, garis rahangnya tegas. Namun dari pertemuan pertama Ia melihat, cowok itu terlihat kaku dan jarang tersenyum, satu lagi Ia terlihat keras.

"Mau pesen apa? Hanna, Hanna Pricillia? Halloo Honney?"

"Eh, kamu bilang apa tadi?" gertak Hanna melototkan mata tajam kearah Bastian. Terserah kamu saja."

"What's wrong, kenapa melamun?"

Hanna hanya diam dengan tatapan menyipit pada cowok dihadapanya. Ia menghembuskan nafas berat lalu menyeruput minuman yang ada dihadapanya. "Kamu kenapa sih mas, mau saja disuruh Papa untuk menemui aku."

The Boy I Met In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang