Bab 3

3 1 0
                                    


"Dari mana kamu Hanna?"

"Papa kenapa tiba-tiba!." Hanna menyipitkan matanya terkaget melihat papanya yang sudah berdiri di depan pintu. Tatapanya tajam menatapnya.

"Hanna habis jogging Pa, cari angin."

Papanya tak menyahut, lalu beranjak duduk di sofa. Hanna menghampiri ke sofa, lalu disusul mamanya yang datang dari arah belakang.

"Kenapa kemarin kamu mengabaikan Tian seperti itu. Dia sudah jauh-jauh datang kesini meluangkan waktu kamu malah bersikap seperti itu!"

"Kemarin aku kan kerja Pa."

"Hari ini Minggu kan, kamu jangan cari-cari alasan untuk menghindar lagi. Bastian dan keluarganya akan datang kemari, jangan buat papa malu."

"Kenapa mendadak?"

"Sama sekali tidak mendadak."

"Hanna tidak mencintainya Pa."

"Terus siapa yang kamu cintai. Coba tunjukkan ke Papa."

"Ya aku tak bisa menunjukkan siapapun Pa. Tapi bukankah jodoh itu sudah diatur oleh Allah. Mau cepat atau lambat jika Ia ditakdirkan berjodoh dengan Hanna, pasti Allah akan menunjukkan jalan Pa. Tapi jika perjodohan dengan Mas Tian aku belum bisa Pa, maaf."

"Hanna." Mamanya mendekati Hanna mencoba melerai dan mengelus punggungnya." Cinta bisa datang seiring berjalanya waktu nak."

"Kamu mau menunggu sampai kapan, hingga tak ada seorangpun yang mau sama kamu?" ujar Papanya menggebu. Hanna refleks melirik Papanya, tak percaya dengan kalimat yang diucapkan.

"Kamu dengar Han, Tian itu anaknya baik, memilki pekerjaan terhormat, berasal dari keluarga terpandang Papa sendiri sudah kenal lama dengan mereka, dia tampan juga kan."

"Pa, Ma apakah pekerjaan terhormat wajah tampan, atau kekayaan bisa membuat bahagia. Bukankah dalam pernikahan yang dibutuhkan adalah kenyamanan dan rasa cinta. Iya, mas Bastian baik, tapi aku belum bisa."

"Papa melakukan ini karena ingin melakukan yang terbaik buat kamu. Ingat, kamu tak selamanya tergantung dengan Papa,"

"Aku tak akan tergantung sama Papa."

"Kamu lihat, teman-temanmu sudah sukses bekerja di perusahaan, menjadi pejabat dan lain-lain. Dan kamu hanya menjadi seperti ini kan?"

"Tapi aku mencintai dan nyaman dengan apa yang aku kerjakan Pa."

"Harusnya kamu mencontoh Zaky, kakakmu. Dia bisa sukses karena dari awal mendengarkan omongan Papa. Kamu dan adik kamu itu sama saja."

"Pa, kenapa Papa selalu...."

Hanna meninggikan bicaranya kehabisan kesabaran. Matanya berkaca-kaca tak mampu membendung.

"Sudah-sudah Hanna.Kamu ke kamar saja sekarang siap-siap, ya nak."

Hanna tak menyahut. Ia hanya menunduk dan berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. "Hanna," seru mamanya mencoba memanggil namun Ia tak menoleh lagi.

Sesampainya di kamar, Hanna langsung tengkurap pada kasurnya. Air matanya kini telah jatuh membasahi bantal. Ia tahu mungkin papa ingin melakukan sesutau yang terbaik untuknya. Namun Ia bukan anak kecil yang harus dikekang atau menuruti setiap perkataan papanya jika itu sesuai keinginanya. Apalagi jika harus dijodohkan dengan laki-laki yang tidak dicintainya.

Selama ini Hanna memang tak terlalu dekat dengan papanya. Ia tahu betul perjuangan papanya membangun bisnis properti begitu keras. Memulai dari awal mengerjakan berbagai proyek di berbagai kota. Namun disaat itu juga Ia jarang mendapat waktu bersama ayahnya. Pada saat itu Ia merasa yang Ia butuhkan bukanlah kemewahan tetapai adalah kasih sayang orangtuanya.

The Boy I Met In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang