Part 3

34 16 0
                                    

Author's POV

Seorang gadis memasuki ruangan di samping sebuah bangunan tua. Di depannya terdapat plang yang bertuliskan Toilet Laki-Laki. Kakinya menuju ke sebuah cermin yang ada di dalam sana. Matanya menatap sebuah bayangan yang ada di dalam cermin itu.

Wajah dengan kulit berwarna kuning langsat dengan mata yang tidak terlalu kecil ataupun besar. Ada sebuah bintik macan di bawah mata itu. Maniknya berwarna cokelat terkena cahaya senja yang masuk melalui celah jendela. Bulu mata yang tebal dan lentik melindungi manik dari segala hal yang berusaha merusaknya. Diatasnya ada alis yang terlihat seperti dilukis menggunakan tinta hitam. Dan bibir yang hampir membentuk sebuah hati, dengan warna merah yang menghiasinya. Secara keseluruhan gadis itu terlihat manis.

Namun, puluhan keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras di seluruh tubuh, juga rambut yang berantakan seperti terkena badai dengan hiasan daun diatasnya, dan bekas cipratan lumpur yang ada di seluruh pakaian yang ia kenakan membuat kesan manis itu hilang.

"Hah ..., payah, gue bahkan gak dapet satu pun mangga dari si Bapak Kumis tadi!" gerutunya sambil berkacak pinggang.

BRAK

Mendengar suara pintu toilet yang dibuka dengan kasar gadis itu pun menoleh kearah pintu tersebut. Disana terdapat seorang lelaki tengah terengah-engah seperti sedang dikejar sesuatu. Mata coklat sang gadis menatap lekat lelaki itu.

Lelaki di hadapannya itu memiliki mata dengan ukuran yang pas dan manik kecoklatan. Hidung bagai perosotan. Bibir kemerah-merahan yang alami dan sedikit tipis . Kulit putih bersih bagai kelopak mawar putih. Kemeja yang basah oleh keringat melekat pas di badannya. Juga ... beberapa kancing atas yang terbuka menampakkan dada bidang pria itu!

BLUSH

KYAAA! DIA SANGAT TAMPAN! Dia seperti pangeran yang di impikan orang-orang! batin gadis itu.

"Hah ... hah ... maaf mengganggumu, permisi," ucap lelaki itu terengah lalu dengan tergesa memasuki bilik toilet yang paling ujung. Membuat wajah sang gadis yang terpukau kagum menjadi tertunduk penuh kecewa.

"Ah, kenapa karya seni itu cepat sekali pergi? pengen liat lagi, " gumam sang gadis sambil menatap bilik toilet yang dimasuki lelaki tadi.

Namun hal yang terjadi selanjutnya membuat dia terkejut. Sebuah cahaya merah bagai kobaran api keluar dari dalam bilik itu. Lama kelamaan cahaya itu meredup dibarengi dengan suara terengah seorang lelaki.

Hal itu membuat rasa penasaran si gadis muncul dengan menggebu. Berbagai pikiran terlintas di otaknya dengan cepat.

Hah, cahaya apa itu? Senter? Tapi itu terlihat seperti api. Apa mungkin ada api di dalam sana? Lalu bagaimana keadaan pria tadi? Aku harus menolongnya! Dan ... melihat lagi wajah yang seperti seni itu! batin sang gadis.

Dengan perlahan tanpa menimbulkan bunyi kaki mungil yang dibalut dengan sneakers putih yang menguning itu mendekat kearah bilik yang dimasuki sang lelaki. Terlihat pintu bilik itu sedikit terbuka. Cukup untuk melihat apa yang terjadi didalam sana. Sang gadis pun mendekatkan mata coklatnya ke pintu itu dan melihat apa yang ada didalamnya.

"WOAHH...! Itu seperti sebuah pahatan!" gumam sang gadis.

KRIET

Sial! Karena terlalu semangat tanpa sadar aku mendorong pintunya! batinnya.

"Siapa?" suara rendah bagai auman harimau itu terdengar dari dalam.

DEG

Apa ini? Suaranya sangat berbeda dengan suara seni yang kulihat tadi, batin sang gadis.

Eleven LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang