Part 4

31 13 4
                                    

Author's POV

"HUAAAA ...! HIKS ... AGRHHHHH ...!"

Raungan kesakitan yang memilukan itu menggema mengisi seluruh bagian hutan. Seorang anak lelaki tengah meraung didepan sebuah gubug tua yang sudah rapuh termakan usia. Dipangkuannya ada sebuah badan yang sudah kaku dengan darah yang melumurinya. Mata kecil yang bersinar sayu layaknya senja itu tak lagi terbuka, malah tertutup rapat-rapat, seakan enggan melihat dunia yang sudah menganiayanya. Hatinya sakit seperti tersayat pisau melihat tubuh kecil rapuh yang biasa dia peluk agar tubuh itu tetap hangat sekarang malah mendingin seiring berjalannya waktu walaupun sudah berjam-jam ia memeluk tubuh itu.

Tubuh anak lelaki itu bergetar hebat sambil mengeratkan pelukannya pada anak perempuan yang ada dipangkuannya. Mengapa ia harus mengalami ini? Satu-satunya orang yang berharga baginya telah pergi, meninggalkannnya seorang diri. Padahal selama ini kami berdua telah bersabar. Menahan lapar berhari-hari bahkan berminggu-minggu, menerima semua omongan dan hinaan yang dilontarkan pada mereka, menahan rasa sakit yang dirasakan oleh tubuh mereka yang kecil, bertahan di dunia yang memang kejam ini seorang diri. Kenapa sekarang malah jadi begini? Bukankah kami telah bersabar? Seharusnya kami mendapatkan balasan karena telah bersabar bukan? Kenapa semesta selalu menyiksa mereka? Tidak mengizinkan mereka berbahagia walau hanya sesaat.

"Aku lelah ...," gumam anak lelaki itu. Air matanya sudah berhenti tapi sekarang malah darah yang keluar dari matanya.

"Hah hah ... Sial! Lagi-lagi mimpi itu." Seorang pria terbangun dari tidurnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar sambil berusaha mengatur nafasnya. Kemeja yang dikenakannya basah oleh keringat membuat kulit cokelat dibalik kemeja itu terlihat mengkilap.

"Mimpi itu lagi Bang?" tanya Jinyoung.

"Hmm, tapi itu terlalu nyata untuk disebut mimpi." Woojin mengambil gelas di atas meja disamping tempat tidurnya, lalu meneguknya dengan kasar.

"Kita semua punya mimpi buruk masing-masing, memang kadang-kadang mimpi itu terlalu nyata, sampai membuat kita bingung," ucap Jinyoung.

"Hatiku mengatakan kalau itu nyata dan aku memang mempunyai seseorang yang berharga bagiku, otakku pun kadang-kadang mengiyakan hal itu, tapi jika melihat kenyataannya..., orang yang berharga bagiku? Aku bahkan tidak punya keluarga, teman atau apapun itu. Ah, jika dipikir lagi aku bahkan bukan manusia, aku hanya parasit yang menempel pada kehidupan seseorang." Woojin menghela kasar, dia benar-benar bingung dengan semua ini.

"Kita bukan parasit, bukannya Bang Minhyun sendiri yang bilang? Kita itu Adiknya," tekan Jinyoung dengan nada santai.

"Minhyun Hyung terlalu baik, atau mungkin bodoh?"

"Bang Minhyun pasti denger loh."

"Huh, Siapa peduli," ucap Woojin acuh.

Woojin mengernyit saat pening menghampiri kepalanya. Dia mengusap kepalanya pelan untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Lo mau keluar?" tanya Woojin pada Jinyoung.

"Hmmm, kayaknya ini giliran gue."

Tepat setelah Jinyoung mengatakannya iris hitam Woojin berubah menjadi warna Lilac yang begitu mangagumkan dan di badannya terbentuk tanda abstrak berwarna merah. Perlahan iris Lilac itu memudar dan kembali menjadi warna hitam pekat bersamaan dengan tanda abstrak di tubuhnya yang juga ikut memudar.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eleven LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang