Part 2

48 18 8
                                    

Author's POV

Tiga puluh enam cangkir teh bunga chamomile berjajar di atas meja usang. Harum bunga chamomile yang dikeluarkannya mengundang lebah dan kupu-kupu datang ke taman di depan sebuah bangunan tua itu. Kupu-kupu menari kesana kemari mengikuti aroma bunga chamomile yang terbawa angin.

Disampingnya ada seorang pemuda yang tengah menyesap tehnya sambil menikmati senja di langit. Kulitnya yang putih bersih tampak berkilau terkena sinar senja di sore itu. Dia menatap anak-anak yang berada tak jauh darinya. Anak-anak itu hanya diam sambil terus memandanginya dengan kagum.

"Anak-anak kenapa hanya diam seperti itu? Segera ambil tehnya selagi masih hangat," ucapnya lembut.

"AKHHHHH! MAWAR PUTIHKUH SANGAT INDAH DI BAWAH SINAR SENJA!" teriak histeris Tania.

"Duh Pak Guru perhatian banget sih sama aku ...."

"Ihhh ..., Pak Guru tuh ngomong gitu ke aku bukan ke kamu!"

"Dih, dia ngomong gitu sama kita semua kali!"

"Nah tuh tau!"

"Itu para nenek lampir ribut mulu sih,  pusing tau dengernya," gerutu seorang anak lelaki.

Mereka mendengarkan Minhyun dan mengambil satu-persatu cangkir di meja, menyisakan satu cangkir terakhir meskipun dibarengi dengan omongan-omongan yang tidak jelas. Mereka menyesapnya dengan nikmat ditemani senja yang berwarna jingga layaknya fire opal.

Minhyun yang melihat anak-anak menikmati tehnya hanya tersenyum. Hatinya lega karena anak-anak itu menyukai teh pemberiannya.

Pandangannya teralihkan saat melihat satu cangkir teh yang masih tersisa di meja.

Siapa yang belum mengambil tehnya? batinnya.

"Anak- anak kalian semua sudah mendapatkan tehnya?" tanyanya pada anak-anak yang ada didepannya.

"Sudah Pak," jawab salah satu anak lelaki.

"Lalu kenapa masih tersisa satu cangkir?"

"Mmmhh ... mungkin Minhyun belum mengambilnya," jawab Tania.

"Minhyun?" tanya Minhyun heran.

"Ahhh ... namanya memang mirip dengan Guru, itu anaknya disana, dia  baru pindah kesini kemarin. Dia itu bukan yatim piatu dan orang tuanya juga kaya, tapi entah kenapa dia ingin tinggal disini," jawab Tania lagi sambil menunjuk ke tempat seorang anak lelaki yang tengah duduk diatas rerumputan sambil mendongak keatas manatap langit.

"Kalau begitu biar Pak Guru yang memberikan teh ini kepadanya." Minhyun mengambil cangkir teh diatas meja itu dan berjalan menghampiri anak yang ditunjuk tadi.

"Teman-temanmu sedang manikmati teh disana,  kenapa kamu disini?" Minhyun duduk disamping anak lelaki tersebut. Karena merasa ada yang berbicara  kepadanya anak itu pun menoleh.

DEG

Wajahnya sangat mirip denganku waktu kecil, batin Minhyun.

"Ah, Pak Guru, kenapa Bapak kesini?" tanya balik anak yang mungkin berusia 6 tahun itu.

"Teh mu, minum selagi masih hangat." Minhyun menyodorkan cangkir teh yang dibawanya.

"Terima kasih." Anak itu menerima cangkir yang disodorkan kepadanya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, apa yang kau lakukan disini?"

"Hanya sedang menatap langit, sang langit sangat indah sore ini," ucapnya.

Matanya tak lepas dari langit yang ada di atasnya. Jari mungilnya mengangkat cangkir teh tadi kemudian menyesapnya. Indra penciumannya terbuai oleh aroma bunga chamomile yang lembut dan menenangkan.

Eleven LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang