5. TO YOU

566 52 3
                                    

Mean diam di kamarnya. Ia larut dalam pikirannya. Mengetahui Plan hamil dan ia jelas mencintainya, mengapa ia memilih menikahi perempuan lain? Ia bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan mendekati ranjang Pui dan menatap anaknya yang tengah lelap dalam tidurnya.

Mean mengelusnya sebentar. Ia kemudian berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana lalu menekan nomor Plan.

"Halo," ujar Plan.

"Kau sibuk?" tanya Mean.

"Agak sibuk. Kenapa?" tanya Plan.

"Aku,.." Mean tak melanjutkan Ucapannya sebab ia mendengar suara Plan tengah muntah-muntah dan ia yakin Hpnya ia tinggalkan di atas kasur

"Plan, kau tidak apa-apa?" Mean sadar Plan pasti tengah mengalami morning sickness.

"Uhm, hanya masuk angin," sahut Plan jelas berbohong.

"Mau kukerok?" Mean bercanda.

"Baaa!" jawab Plan.

"Ada apa?" tanya Plan lagi.

"Ah, iya. Uhm, hanya ingin mendengar suaramu," sahut Mean. Ia nyengir dan menggaruk kepalanya seperti orang bodoh.

"Mean, beneran kamu kurang kerjaan. Sudah, aku sakit sekarang!" ujar Plan lagi dan ia langsung menutup teleponnya.

Mean tersenyum. Plan tak pernah sekalipun mencoba memberitahunya tentang kehamilannya. Ia tahu ia tak akan melakukannya karena ia pikir jika melakukannya, dirinya pasti akan sedih.

***
Seseorang mengetuk pintu di depan dan Plan menuruni tangga dan membukanya. Mean berdiri di hadapannya.

"Mean, ada apa? Ada masalah dengan Pui?" Plan menatapnya penuh rasa khawatir. Waktunya sudah hampir tengah malam dan itu membuat Plan berpikir yang tidak-tidak.

"Tidak ada," ujar Mean sambil menutup pintu lalu memeluk Plan.

"Kau kenapa?" tanya Plan ia mengelus punggung Mean pelan.

"Akhir-akhir ini kau menjadi aneh. Jangan bilang Neena ingin kembali kepadamu," sahut Plan dengan wajah yang heran. Mean hanya menggelengkan kepalanya.

"Ada apa? Jangan begini, Mean. Kau membuatku takut. Benarkah tidak ada masalah dengan Pui?" Plan masih berada dalam pelukannya. Mean menganggukkan kepalanya. Ia kemudian melepaskan pelukannya dan berlutut. Ia memeluk pinggang Plan dan mencium perut Plan.

"Mean, astagaa!" Plan kaget. Ia ikut berlutut dan kemudian duduk.

"Ada apa?" Plan menangkup wajah Mean.

"Aku mencintaimu, Plan," ujar Mean dengan lirih. Plan membelalakkan matanya. Matanya berkaca-kaca dan ia menggelengkan kepalanya.

"Jangan begini," lirih Plan.

"Pernikahanmu hanya tinggal dua hari. Dengarkan aku baik-baik. Kau hanya terbawa perasaanmu. Jangan lari, Mean," ujar Plan.

"Aku tak lari. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku mencintaimu. Aku tahu kau hamil. Maafkan aku menyadari semuanya terlambat. Aku ingin bersamamu. Aku tak mau bersama Kew. Plan, katakan kepadaku. Apakah kau punya perasaan yang sama kepadaku?" Tatapan matanya memohon.

"Mean," lirih Plan. Ia diam tak menjawab pertanyaannya.

"Apa yang harus kulakukan?" Mean duduk bersimpuh. Ia menundukkan kepalanya dan menangis.

"Mean," lirih Plan dan ia ikut menangis dan mereka berpelukan.

"Aku ingin bersamamu. Aku ingin membangun keluarga denganmu. Plan, aku harud bagaimana?" Mean menangis lagi dan mereka masih berpelukan. Malam itu, Mean tidur bersama Plan. Mereka tak melakukannya. Hanya tidur bersama, berpelukan.

Keesokan paginya, Plan menulis secarik surat lagi dan seperti biasanya ia simpan di atas meja. Mean membacanya. Ia tahu jawaban Plan. Plan menolak Mean dan ia harus pulang dan menelan kecewa.

Hari pernikahan pun tiba. Semuanya sudah berkumpul di lobi hotel dan siap melakukan prosesi. Namun, saat sang biksu bertanya apakah Mean sudah yakin tentang pernikahannya, jawaban Mean sungguh di luar dugaan. Ia menjawab tidak siap karena ia terlambat menyadari bahwa ia mencintai perempuan lain.

Sontak ruangannya dipenuhi dengan suara kekagetan dan mereka mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya tentang sang perempuan. Plan menggelengkan kepalanya. Kew menampar Mean dan berlari meninggalkan tempat sambil diikuti orang tuanya dalam keadaan marah dan teman-temannya.

Mean tak memedulikan semuanya. Ia berjalan mantap menuju Plan yang masih menggelengkan kepalanya dan menuntun Pui di sebelahnya.

"Aku mencintaimu, Plan," sahut Mean lirih. Ia berdiri dengan gagahnya di depan Plan.

"Menikahlah denganku," sahut Mean lagi. Plan diam. Ia melirik ke arah Joss dan Joss hanya tersenyum kepadanya. Plan tersenyum dan ia menganggukkan kepalanya.

Mean tersenyum bahagia. Mereka berciuman dan hari itu juga mereka melangsungkan pernikahan.

Sudah tujuh tahun sekarang. Plan sudah memberi  empat anak kepada Mean. Dee, Tee, Kot, dan Krisan, ditambah dengan Pui  menjadi lima. Sungguh sebuah keluarga besar yang bahagia.

"Anak-anak belum tidur?" tanya Mean. Ia tengah telungkup dan Plan menaiki punggungnya, memijatnya.

"Belum, masih main di ruang main," sahut Plan sambil masih memijat.

"Kenapa mereka tidak tidur? Aku mau minta jatah," sahut Mean nyengir.

Plak! Satu tamparan di kepala belakang Mean membuat Mean nyengir lagi. Tak lama semua anak datang ke kamar.

"Asyik kuda-kudaan!" seru mereka dan mereka langsung menyerang Mean. Plan hanya tersenyum. Ia berbaring di sebelah Mean dan mencium pipi Mean lembut. Mean menatap Plan dan tersenyum.

Pui hanya menggelengkan kepalanya. Ia berbaring di sebelah Plan dan memeluk ibunya.

Semuanya tertawa bahagia.

Tamat.







Track 2 SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang