"Siapa bilang kau mandul? Spermamu pejantan tangguh," sahut dr. New yang memeriksa Mean.
Plan yang mendengarnya hanya terkesima. Apalagi Mean yang hanya menganga sebab ia masih tak percaya dengan yang didengarnya.
"Eh, tapi dr. Kavin yang memeriksaku bilang aku mandul. Dokter bisa lihat dari hasil tesku yang dulu. Semua dokumennya ada dengan dokter," ujar Mean. Perasaannya campur aduk. Bahagia dan juga bingung.
"Iya, aku sudah melihatnya. Kemungkinan besar hasilnya terbalik. Apa kau tahu dr. Kavin ada masalah dengan alkohol dan ia kecanduan. Sekarang ia mendekam di penjara dan izin praktiknya sudah lama dicabut," jelas dr. New.
"Hah?" Mean kaget. Namun, akhirnya Mean bisa lega karena sekarang ia tahu bahwa ia baik-baik saja dan yang paling penting, ia akan segera punya anak dari perempuan yang tengah menatapnya dengan binar kebahagiaan dan senyum yang merekah indah dipenuhi dengan kebahagiaan juga.
Mereka berjalan keluar rumah sakit dan kemudian memasuki mobil. Mobil membawa mereka ke rumah.
"Plan,"sahut Mean sambil menarik lengan Plan. Plan berbalik dan menatap Mean.
"Ayo kita bicara," sahut Mean. Plan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Mereka duduk di ruang keluarga bersebalahan.
"Maafkan aku," sahut Mean. Ia membuka suaranya setelah mereka diam cukup lama.
"Kenapa?" Plan kaget.
"Karena aku sudah berpikir yang bukan-bukan tentang kehamilanmu. Aku marah saat aku pikir kau juga berhubungan dengan yang lain. Kurasa aku mencintaimu," sahut Mean dengan nada yang amat menyesal dan berakhir dengan nada bahwa ia mengatakan yang sesungguhnya.
Plan diam dan kemudian tersenyum. Ia memegang tangan Mean dan tangan lainnya membelai kepala Mean.
"Kau tahu, aku bahagia saat ini," sahut Plan.
Mean menatap Plan heran.
"Kita bisa memenuhi harapan dan impian Mae. Aku yakin Mae juga akan bahagia saat tahu ia akan memiliki cucu," sahut Plan sambil menatap Mean dengan lembut. Bibirnya masih tersenyum.
Mean membelalakkan matanya. Ia baru menyadarinya. Yang dikatakan Plan benar. Ibunya pasti akan sangat bahagia. Andai saja ibunya masih hidup, ia pasti akan memeluk mereka berdua.
"Kau benar. Aku juga bahagia," sahut Mean.
"Kalau begitu, maukah kau menikah denganku? Kita wujudkan impian ibu," sahut Mean.
"Iya, aku mau," jawab Plan sambil tersenyum. Mereka berpelukan sambil tersenyum dipenuhi dengan kebahagiaan.
"O, ya. Kurasa kau harus berbicara dengan Neena," sahut Plan.
"Hah? Kenapa? Neena tak ada kaitannya dengan kita," sahut Mean lagi.
"Mean, tentang informasi hasil pemeriksaan itu. Kurasa Neena juga berhak untuk mengetahuinya. Kau harus bicara dengannya," sahut Plan.
"Ah, itu. Kau benar. Baiklah," sahut Mean.
***
"Ada apa?" ujar Neena. Mereka bertemu seminggu di sebuah kafe. Tanpa banyak basa-basi, Mean berbicara mengenai hasil pemeriksaan. Neena tersentak kaget. Jika bukan Mean yang mandul, artinya dia yang bermasalah."Kalau aku memang mandul, apakah kau akan mengambil semua yang sudah kau berikan kepadaku?" Neena bertanya dengan nada penasaran.
"Astaga! Aku tak berpikir tentang itu. Aku hanya ingin berbicara denganmu tentang ini agar kau melakukan pemeriksaan ulang. Aku harap kau tak mandul dan hasil pemeriksaan yang dulu berlaku untukmu." Mean menjelaskan.
"Baiklah, terima kasih. Ini artinya kau ingin kembali kepdaku?" tanya Neena sambil menatap Mean penuh harapan.
Mean agak kaget mendengar hal itu. Ia menatap Neena dan kemudian berkata lagi.
"Maafkan aku! Aku mencintai orang lain," sahut Mean.
"Plan?" tanya Neena memastikan.
"Bagaimana kau tahu?" Mean kaget.
"Hanya instingku," ujar Neena.
"O, begitu. Baiklah. Kurasa itu saja. Sampai jumpa," sahut Mean dan ia menjulurkan tangannya.
"Uhm," gumam Neena dan menyambut uluran tangannya.
Mereka kemudian berpisah.Usia kandungan Plan sudah hampir tujuh bulan dan mereka sudah menikah. Ayahnya terlihat bahagia. Matanya terlihat dipenuhi dengan harapan. Mereka juga rajin menyambangi pemakaman ibu mereka. Plan sering bercerita tentang proses kehamilannya kepada ibunya.
Mereka duduk bersebelahan di pelataran kuil yang menghadap ke laut. Dua anak kecil lelaki yang bernama Dee dan Tee duduk di antara mereka dan bermain-main dengan robot masing-masing.
Tangan Mean dan Plan bertautan dan mereka saling menatap sambil tersenyum.
"Terima kasih," sahut Mean.
"Sama-sama,"sahut Plan lembut dan ia menatap Mean dengan teduh.
"Rak, Mean," sahut Plan.
"Aku juga. Rak Plan," ujar Mean.
Keduanya tersenyum dan mereka kemudian mengelus kepala kedua anak mereka dan menautkan tangan mereka lagi sambil menatap laut.
Tamat