Plan mundur beberapa langkah. Ia terlihat ketakutan, tapi sorot matanya terlihat sangat takjub akan sang pria yang sekarang berjalan mendekat dan wajahnya semakin jelas tersorot cahaya bulan.
"Khun siapa?" tanya Plan dengan wajah yang terlihat masih ketakutan.
"Eh, bukankah tadi kau bicara denganku? Kau tak mengenaliku?" Mean tersenyum menggodanya.
"Kau jelmaan sang bulan. Jadi kau benar-benar seorang lelaki?" Plan dengan cepat mendekati Mean dan memegangi lengannya yang kekar.
Mean sangat terkejut. Ia tidak membicarakan bulan. Ia tengah membicarakan saat mereka berkenalan di rumah utama. Pertemuan secara resmi antara dua keluarga yang akan berbesan.
Namun, ia diam dan tak ingin meralat pernyatan sebab ia terkesima akan Plan yang tengah mengagumi dirinya, memegangi wajah dan sebagian tubuhnya seolah ia adalah sesuatu yang langka.
"Wah, kau sungguh rupawan! Seperti seorang pangeran," ujar Plan lagi dengan mata yang berbinar terang. Ia tersenyum dan menatap Mean dengan penuh kekaguman.
Mean nyaris tertawa dibuatnya. Namun, dengan sigap ia menahannya.
"Kau menyukaiku?" tanya Mean sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Plan.
"Iya, aku sangat menyukaimu. Aku selalu ingin melihatmu sejak sepuluh tahun yang lalum kota berteman sewaktu kecil, kau ingat! Tapi kau tak pernah menjelma seperti ini," sahut Plan lagi.
Mean semakin kaget. Ia tertarik dengan cerita perempuan di depannya yang selalu ia anggap hoaks atau fabel itu. Ia diam memandang sang perempuan dan dalam sekejap terlintas ide gila di dalam otaknya.
"Aku menjelma sejak kau hilang," ujar Mean mencoba memancing Plan. Jelas ia berbohong.
"Itu karena aku menyadari sesuatu," sahut Plan. Wajahnya berubah sedih dan ia menundukkan wajahnya.
"Kenapa? Kau tak lagi suka berjalan-jalan di dekat kuil?" tanya Mean menggunakan pengetahuan dari rumor sekitarnya.
"Bukan itu," sahut Plan.
Lalu ia mulai bercerita tentang semuanya tentang ayahnya dan saudara lelakinya dan bahwa kecantikannya malapetaka. Ia tak boleh bersama dengan siapapun kecuali berteman dengan kegelapan dan bulan malam itu.
Mean sekarang meyakini kebenaran berita tentang Plan Rathavit yang kecantikannya sungguh melegenda di kalangan masyarakat.
"Semua orang berpikir bahwa kau sudah mati," sahut Mean. Mereka duduk bersebelahan di atas rumput dan bersandar pada bebatuan yang membentengi kolam.
"O, itu lebih baik. Aku pikir itu lebih baik untuk dunia," sahut Plan dengan nada yang sedih.
"Kau menderita." Mean berkata dengan nada yang sedih pula.
"Uhm. Aku ingin benar-benar mati, tapi ibuku di kahyangan pasti akan marah besar," sahut Plan lagi.
"Ibumu benar-benar seorang bidadari, rupanya," sahut Mean. Ia sekarang menikmati perbincangan bukan hanya karena wajah yang diajak bicaranya saja, melainkan juga karena sikapnya yang begitu polos dan naif.
Sebenarnya sangat wajar Plan bersikap naif. 10 tahun ia berada dalam kegelapan. Ia benar-benar tak tahu boroknya dan kejamnya dunia.
"Kau pernah bertemu dengan ibuku. Dia penjaga keseimbangan alam. Kau berbicara dengannya?" Plan terlihat antusias.
"Tentu saja tidak," sahut Mean.
"Kenapa begitu? Bukankah kau Pangeran Bulan?" sahut Plan lagi. Wajahnya terlihat bingung dan Mean menjadi tertawa dibuatnya. Mimik Plan terlalu lucu untuk digambarkan.