(2)

17 4 4
                                    

Khodijah menatap dirinya di cermin yang terpasang didalam kamar. Semua teman temannya sudah terlelap. Air matanya menetes, mengingat kejadian tadi pagi. Kesucian yang selama ini telah dijaganya, direnggut oleh seorang laki laki asing. Memang hanya menyentuh tangan, tapi bagi Khodijah itu sangat berarti. Selama ini ia tak pernah disentuh oleh laki laki lain selain ayah dan adiknya. Laki laki itu bukan mahramnya sedangkan ia punya prinsip tak ingin disentuh atau menyentuh laki laki non mahrom sebelum halal. Ia hanya ingin memberikannya pada sang suaminya kelak. Sekarang kesuciannya tak murni lagi.
"Ya Allah, ampunilah hamba mu yang hina ini".
Malam semakin larut. Suara suara binatang malam hilir mudik mengisi kesunyian. Dingin semakin menyelimuti santri santri membuat mereka semakin terlelap.

****

Iqbal berdiri dipematang sawah. Menghirup udara fajar dalam dalam. Meresapi dalam jiwa. Membuang semua penat pikiran yang membelenggu. Ia sengaja tak ikut sholat berjamaah di masjid pesantren, malah sholat digubuk pesantren dalam balutan dingin subuh. Udara alam yang segar mampu menyejukkan pikiran dan refleksivitas tubuh.
Matahari telah bersinar menerangi bumi ketika Iqbal baru kembali ke pesantren. Tidak ada yang tau jika sejak semalam Iqbal tidak ada di pesantren. Karena teman temannya sudah hafal, jika Iqbal tidak tidur di kamarnya berarti dia ada di masjid. Kebiasaan Iqbal jika ia mendapat nilai jelek diulangan sekolah. Bahkan teman temannya sering mengolok olok kebiasaan aneh itu.
"Nilai jelek itu yabelajar, bukan berdo'a".
"Berdo'a itu saat menjelang dan saat ujian bukan malah saat selesai ujian".
Begitulah kurang lebih perkataan teman temannya. Iqbal ya Iqbal jarang ada yang bisa mengerti jalan pikirannya. Padahal Iqbal di masjid tidak berdo'a, ia hanya tiduran sambil introspeksi diri, dimana letak kesalahannya sehingga dia mendapat nilai jelek. Teman temannya yang tau hanya menggeleng gelengkan kepala.
"Assalamua'laikum.....".
Ucap Iqbal ketika memasuki kamar asramanya. Teman sekamarnya telah bersiap berangkat sekolah.
"Wa'alaikumsalam".
"Dari mana bal? Tadi dicari Gus Wahyu". Tanya Rudi. Santri santri tidak ada yang tau kalau sebenarnya Iqbal itu adalah seorang Gus, putra dari Abah dan bunyai mereka. Hanya beberapa orang saja yang tau dan Iqbal menyuruh mereka untuk merahasiakan identitas aslinya itu.
"Gus Wahyu?....ada apa?". Tanya Iqbal.
" Ndak tau".
Iqbal tidak pergi menemui Gus Wahyu, dia langsung berganti seragam dan berangkat sekolah.
Kejadian kemarin benar benar membuat Iqbal kehilangan konsentrasi dan semangat. Dikelas ia hanya melamun dan tidur.
" Bal, bok ya jangan seperti itu, yang semangat gitu loh. Sumpek aku lihatnya...". Ujar Gus Firda.
" Huuuuuuuhhhhhh.....". Iqbal mendesah panjang. Melipat tangan diatas meja. Pelajaran terakhir membuatnya semakin gelisah karena guru yang mengajar adalah Gus Wahyu kakak kandungnya sendiri.
" Iqbal setelah bel pulang kamu ke ndalem". Perintah Gus Wahyu diakhir pelajaran. Iqbal hanya mengangguk saja tanpa menjawab.
" Da, temenin".
" Pinginnya gitu, tapi hari ini aku ada kumpul PMR, sorry ya..".
Sesal Gus Firda, seharusnya disaat seperti ini, ia harus selalu ada untuk Iqbal. Masalah yang ia hadapi bukan masalah sepele. Antara hidup dan mati.
"Yaudah deh ngga apa apa".
Iqbal segera membereskan buku bukunya dan beranjak kendalem.

"Assalamua'laikum".
"Wa'alaikumsalam". Iqbal mencium Asti keluarganya satu persatu.
Iqbal mempunyai lima orang kakak, tiga laki laki dan dua perempuan artinya Iqbal adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakaknya yang pertama Gus Wildan sudah menikah dengan seorang Neng bernama syaima dari Tuban. Yang kedua Gus haris, ketiga Gus Wahyu, keempat Neng Balqis, dan kelima Neng riyadin. Mereka semua sudah tau masalah tentang adik bungsunya. Kasihan dan prihatin yang mereka rasakan. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa apa untuk Iqbal.
Iqbal duduk di sofa dekat ibunya.
"Hari Kamis depan kita akan menemui keluarganya". Ucap Abah memecah kesunyian.
"Abah mpon ngertos siapa gadis itu??".tanya Gus Wildan.
"Sudah. Namanya Khodijah".
" Dari mana Abah ngertos?". Tanya Iqbal.
"Kamu tidak perlu tau dari mana Abah tau gadis itu. Dia santri di pondok ini juga. Abah sudah minta tolong salah satu ustadzah untuk mencari tau tentangnya".
Iqbal diam menatap gelas berisi air putih didepannya.
" Kelak kamu akan mengerti bahwa memilih pasangan tidak harus dengan cinta, tapi dengan keimanan dan keyakinan bahwa dia adalah yang terbaik, yang Allah berikan untuk kita. Belum tentu yang kita cintai itu baik buat kita dan yang tidak kita cintai itu justru menjadi yang terbaik buat kita. Jadi siapkan dirimu nak atas apa yang terjadi nanti". Nasihat Abah lembut, penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga sebenarnya beliau sendiri tidak rela masa depan putranya dipertaruhkan dengan jalan yang tidak disangka sangka.
" Buk, ayo berangkat". Ajak Abah. Beliau akan tinda'an ke Banyuwangi.
Setelah Abah dan ibunya pergi, Iqbal meraih gelas itu, meneguk airnya sampai habis. Kemudian langsung berdiri menuju kamarnya yang ada dindalem ini.
" Huhhh...". Iqbal melemparkankan tasnya diatasnya meja belajar dan tubuhnya diatas ranjang. Matanya menatap langit langit kamar.
" Iqbal...!!". Panggil Gus Wildan. Iqbal bangun, kakaknya sudah berdiri dilamarnya. Neng Balqis duduk disamping iqbal.
" Namanya kjodijah, santri di pondok ini juga. Penghuni asrama as Syifa, baru kelas dua Aliyah" .jelas neng Balqis.
" Kelas dua? Ngga salah kak?" .tanya Iqbal tak percaya, neng Balqis mengangguk.
" Ini aneh. Apa yang akan terjadi nanti? Kami masing masing masih sekolah" .protes Iqbal. Gus Wildan merangkul adik bungsunya itu.
" Semuanya akan baik baik saja. Kakak yakin adik kakak pasti bisa menjalankannya".
" Mana bisa kak??".
Iqbal berdiri, menatap keluar jendela.
" Aku ngga siap kak. Kakak saja belum menikah, tapi aku yang paling kecil, harus menikah gara gara perjanjian sialan itu. Bagaimana masa depanku nanti?.... Bagaimana dengan cita citaku nanti?.... Apa yang harus aku lakukan kak....?" .air mata Iqbal menetes, perasaan ini benar benar membuatnya terluka. Gus haris langsung memeluknya.

                         ****

KHADIJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang