(3)

19 4 0
                                    

               Khodijah bingung karena tiba tiba orang tuanya datang dan mengajaknya pulang secara paksa. Semakin membingungkan lagi tanpa ada alasan yang jelas.
  "Memangnya ada apa buk, kenapa Khodijah disuruh pulang secara mendadak?".
Tanya Khodijah setelah sampai dirumahnya.
  " Tidak ada apa apa. Ibuk sama ayah cuma kangen sama kamu. Kamu istirahat saja biar ibuk yang menyiapkan makan malam". Jawab ibu dengan penuh kasih sayang. Kalau sudah begitu Khodijah tidak bisa membantah lagi. Baru lima bulan yang lalu Khodijah pulang untuk liburan semester.
  " Alhamdulillah aku masih bisa pulang". Gumam Khodijah. Dia mengambil Hp nya. Iseng membuka akun sosmednya yang sekarang lagi digandrungi semua orang. Tidak hanya remaja tapi orang tua juga tidak mau ketinggalan. Yaitu FB(Facebook). Diberanda atas sendiri ada status yang menarik perhatiannya.

     " Semuanya akan tertuju pada satu titik, yaitu Allah. Namun, akankah semua ini akan menjadi Lillah ketika hati tak bisa ikhlas akan takdir yang tak biasa saja dirubah. Sekarang cahaya itu telah mati karena bintang mengalahkannya dalam bersinar. Akankah ia menerima takdir itu..?? Akankah ia dapat mencintai nya..?? Kapan..? Tapi yang jelas tidak untuk sekarang".

Khodijah tersenyum. Akun itu bernama Santri El Mihrab. Foto profilnya kartun muslim
      " Mengapa seorang dapat dikalahkan oleh sang bintang, jikalau ia mampu menjadi rembulan???". Khodijah memberikan komentar pada akun itu. Kebetulan ia sedang aktif.

       " Sayangnya orang itu tak mampu menjadi rembulan yang harus bertanggung jawab untuk menyinari bumi mayapada ini". Khodijah mengerutkan dahi membaca balasan itu.
       " Mengapa bisa begitu? Seharusnya matahari yang berperan untuk rembulan dan bintang!".
        " Karena rembulan dipaksa untuk menjadi hujan yang memiliki pelangi. Padahal kita tau sampai kapanpun rembulan takkan pernah menjadi hujan . Rembulan tetaplah rembulan dan hujan tetap hujan".
 
          Belum sempat Khodijah membaca dan membalas ia off untuk segera mandi.
Selesai makan malam, keluarga Khodijah berkumpul diruang tamu.
  " Khodijah sini nak!!". Khodijah mendekat kearah ayah dan ibunya. Kedua adiknya sedang dipesantren yang berbeda dengan Khodijah.
  " Kamu pernah mendengar pepatah santri, kalau tidak salah begini bunyinya" Taksim pada kyai itu bisa membawa barokah pada kehidupan kita" apakah kamu percaya pada pepatah itu??" Tanya ayahnya hati hati.
  " Tentu Khodijah percaya yah".
Ayahnya tersenyum manggut-manggut .
  " Apakah kamu percaya bahwa jodoh itu ada ditangan Allah?".
  " Percaya yah".
  " Bahwa semua ketentuan Allah adalah yang terbaik untuk kita?".
  " Maksut ayah?".
  " Apakah kamu bersedia untuk mendapat barokah itu?". Ayahnya tersenyum meyakinkan. Khodijah mengerutkan dahi bingung.
  " Kamu ingat peristiwa lima hari yang lalu, yang terjadi padamu?". Ayahnya menjeda ucapannya, memberi waktu untuk Khodijah mengingat. Tiba tiba air matanya mengalir begitu saja.
  " Ternyata peristiwa itu tidak berhenti disana, masih Sitinjak lanjuti sampai sekarang. Laki laki yang menabrak kamu itu adalah seorang Gus....".
  " Gus....???". Potong Khodijah. Ayahnya mengangguk.
  " Ia. Beliau seorang Gus, putra bungsu dari Abah Hasan. Pengasuh utama dipondokmu. Beliau juga masih belia, baru kelas tiga Aliyah".
  " Apa hubungannya dengan Khodijah yah??".
  " Keluarga besar beliau mempunyai perjanjian. Jika mereka mengenal atau menyentuh seorang perempuan yang bukan mahramnya meja mereka harus dihalalkan  tanpa pengecualian" .air mata Khodijah mengalir deras.
  " Mengapa begitu??".
  " Keluarga beliau termasuk ulama, jadi wajar saja jika keluarga beliau mempunyai perjanjian seperti itu. Untuk mencegah maksiat".
  " Khodijah belum paham yah...". Ibunya langsuk memeluk Khodijah.
  " Tidak ada yang paham dengan kejadian singkat ini nduk, begitu mendadak. Tapi, ayah dan ibu harus bagaimana lagi? Ini bukan Pak RT atau pak lurah tapi seorang kyai besar dan kondang. Bahkan menjadi guru untuk kamu". Ibu ikut menangis melihat putrinya menangis seperti ini.
  " Apakah ayah dan ibu setuju?".
  " Maafkan ayah Khodijah, ayah tak bisa menolakknya".
  " Apakah kamu menerima lamaran ini nak?".
  " Apa yang bisa Khodijah lakukan selain pasrah dan ikhlas, bila ayah dan ibu sudah mengambil keputusan". Ibunya semakin mempererat pelukannya, mencium kepalanya penuh kasih sayang. Ibu mana yang tega menyaksikan anaknya menderita seperti ini. Andaikan bisa ditukar pasti sang ibu akan menukarnya, bahkan nyawa sekaligus.
  " Besok keluarga ndalem akan datang. Persiapkan dirimu nak".
Setelah selesai berdiskusi dengan keluarganya, Khodijah segera kekamarnya.
  " Ya Allah, mengapa semua ini bisa terjadi? Sebagai santri aku harus Takdim untuk mencari ridho dan berkah dari ilmu yang aku cari. Tapi apakah dalam hal seperti ini aku juga harus Takdim? Menikah diusia muda seperti ini? Akan kubawa kemana rumah tangga itu nanti? Akan bertahan sampai kapan? Dan...bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan sekolahku?".
Perang batin dalam diri Khodijah, benar benar membuatnya takut akan goyah dalam perjalanannya mencari jati diri dijalan menuju sang maha tertinggi. Ia takut akan menyalahkan Allah atas kejadian ini.
  " Nduk....!" Ibunya masuk kedalam kamar Khodijah. Duduk ditepi ranjang. Mengelus kepala Khodijah yang terbalut jilbab.
  " Bagaimana keluarga ndalem bisa kesini buk?". Tanya Khodijah. Suaranya terdengar serak.
  " Beliau menyuruh seorang ustadzah untuk menyampaikan pesan Abah tau. Besok beliau baru datang".
  " Buk......".
  " Cup...cup...cup...,udah putri ibuk ngga boleh nangis terus, nanti wajahnya jadi bengkak, matanya bengap, ngga cantik lagi". Hibur ibunya sambil mengusap air mata Khodijah.
  " Ibuk...." Tajuk Khodijah, ibunya tersenyum menenangkan.
  " Semuanya akan diurus besok".
Khodijah mengangguk.
  " Sekarang istirahat,cepat tidur, tidak usah dipikirkan".

                    
                Magetan11 oktober2020
                 Nikmah El Abidah
 

KHADIJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang