Engkau lebih tahu
Cintaku takan pernah berganti ratu
Selalu hanya ada kamu
Meski raga terpasung ragu_Aksara Cinta & Luka_
**********
Bima POV
Ada yang berbeda dengan rumah ini kini, tak ada lagi senandung Al-quran yang terdengar. Pun lantunan salawat yang selalu bergema memuji nama Tuhan.
Aku harus bisa bertahan, aku tidak bisa menyerah. Aku sudah terlalu banyak menggores luka di dalam dadanya, aku harus segera menyelesaikan semuanya sekaligus.
Aku berharap, kelak dia akan mengerti keputusanku. Dan memafkan semua kesalahan yang terpaksa aku sematkan padanya.
"Mas ...." kulihat Nadia memanggil namaku. Aku hanya acuh, dan tidak menggubris perkataannya.
Jika bukan karena wanita ular ini, tentu rumah tanggaku akan baik-baik saja.
Padahal, aku dan Nissa memperlakukan dirinya seperti keluarga sendiri. Meskipun mereka tidak terikat darah, karena Nissa adalah anak angkat.
"Ada apa?" tanyaku acuh.
Nadia hanya tersenyum, lalu segera mendatangiku. Dia duduk di pangkuanku, seolah itu adalah sofa.
Meski sedikit risih, aku tetap membiarkannya melakukan apa yang dia suka.
"Sekarang dia sudah pergi, apa tidak sebaiknya kita juga pergi. Jujur--aku bosan di rumah," ujar Nadia manja.
Bibir merahnya mengerucut, seolah meminta untuk dijamah.
Jika ada Nissa, mungkin aku akan memagutnya. Tapi kini, hatiku memberontak jijik.
Tubuhku mungkin tidak sama lagi seperti dulu. Kini, tubuhku kotor karena perempuan jalang di pangkuanku.
Sejak aku menyentuhnya, jiwaku tidak pernah lagi mengalami apa artinya kepuasaan. Mungkin ragaku iya, tapi jiwaku---mati sejak saat itu.
Mungkin aku pengecut---yang tidak bisa menolak dengan mulut. Meskipun hati berubah kalut, bibir ini tetap diam membiarkan kaki tertekuk lutut.
Biarlah, aku hanya berdoa dia baik-baik saja. Dan semoga kelak mendapatkan pengganti diri yang hina ini.
Biarlah, cukup aku yang terluka. Asal dia dan anak kami kelak bahagia.
"Mas---"
"Kamu mau kemana?"
"Mas maunya ke mana?" Dia balik bertanya.
Tangan Nadia sudah bergeleria di atas bajuku. Jari-jarinya dengan lincah membuka kancing bajuku satu per satu.
"Ah ...." Akhirnya raga yang hina ini tetap kalah, hangus oleh bhama yang datang menyapa.
Kurasakan, Nadia pun telah membuka gaunnya. Hingga tak ada sehelai benangpun yang tersisa di tubuhnya.
Dengan cepat, pergumulan di atas sofa pun kembali terjadi. Melumpuhkan nuraniku yang sekarat dan hampir mati.
*********
Kulihat rumah mini malis di depanku. Ada sedikit nostalgia ketika aku melihat semua itu.
Ya, aku lebih kembali ke tempatku dulu. Sebuah rumah yang berada di kawasan penyangga ibu kota.
Sejak aku dirawat oleh Ayah dan Ibu, aku meninggalkan rumah ini. Meskipun berada di kota yang sama, tapi aku selalu takut untuk singgah ke tempat ini.
Tapi, entah kenapa saat ini kakiku melangkah kemari. Seolah, ada tangan tak kasat mata yang menuntun langkahku.
Menghirup napas, aku mencoba mengumpulkan keberanianku.
Lalu, secara perlahan aku menggeser pot besar di depan pintu. Masih ada, kunci tersebut masih setia berada di sana.
Secepat kilat, kusambar kunci tersebut. Lalu membuka pintu yang selama ini terkunci.
"Uhuk ... uhuk ...." Aku langsung terbatuk begitu pintu bisa kubuka.
Aku mencoba menepis semua debu dengan tanganku. Berharap bisa mengurangi rasa gatal yang tiba-tiba datang.
Cukup lama untuk membuat semua debu dan udara yang pengap tersebut keluar sebagian. Mungkin, karena rumah ini terlalu lama dalam kondìsi kosong.
Dulu, sebelum menikah. Ibu dan Ayah rutin membersihkan rumah ini. Namun, setelah menikah aku melarangnya.
Aku tidak ingin mereka terus merasa bersalah, semua ini bukan kesalahan mereka. Semua itu, adalah takdir dari yang maha kuasa.
Kita manusia hanya pelantara, tanpa kehendaknya semua percuma. Lagi pula, mereka sudah cukup menebus rasa bersalah mereka dengan merawatku selama ini.
Mereka tidak membedakan antara aku dan Nadia. Mereka selalu memperlakukan kami sama.
Tidak ingin membuang waktu, aku segera menarik semua kain yang menutupi semua perlengkapan furniture.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untukku membereskan semuanya. Melelahkan memang. Tapi aku tidak punya tempat lain untuk di tuju.
Jika aku pergi ke rumah Ayah & Ibu, tentu mereka akan mengetahui semuanya. Aku malu, dulu mereka sudah memperingatiku untuk tidak menerima Nadia. Tapi aku tetap bersikukuh, kini semua telah berubah menjadi sperti ini.
Mungkin, larangan itu karena mereka lebih mengenal anak mereka dari padaku. Tapi ya sudahlah, semua juga telah terjadi. Nasi sudah berubah me jadi bubur. Sekarang tinggal bagai mana aku mengolah bubur tersebut, menjadi layak untuk aku makan.
Aku tidak ingin semakin lama jatuh ke dalam semua polemik ini. Aku ingin bangkit, dan meneruskan langkah hidupku.
Aku memiliki anak dalam kandunganku. Aku tidak boleh egois, aku harus lebih memperhatikannya.
Karena dia tidak mungkin me dapatkan perhatian dan kasih sayang dari sang ayah.
Menghela napas, aku melepaskan cadar yang selama ini menjaga auratku. Kuciumi penghalang api neraka tersebut. Karena aku yakin, Sang Maha tidak akan pernah meninggalku seorang diri.
Aku percaya, semua ini hanya sementara. Sang Maha ingin aku kuat, karena menjadi seorang ibu itu tidak mudah.
Biarlah aku mengambil ini semua sebagai pembelajaran, bukan ujian.
*********
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu : Antara Cinta & Luka
ChickLitMenjadi seorang istri itu tidak mudah, apa lagi dengan madu di atas kapal yang sama. Ketika cinta yang dirajut dipaksa untuk menjadi buih, mampuhkah hati tetap menjadi dermaga untuk tempat kembali.