2. Rasa Yang Mulai Mengabur

51 8 4
                                    

Desah nafas dalam kegelapan
Lucuti rasa secara perlahan
Hancur lebur kesetiaan
Hingga gelap memanggil dalam keabadian

_Sepenggal rasa_

💔💔💔💔💔💔💔

Hari ini tepat sebulan setelah aku resmi memiliki madu, masih ada rasa tidak percaya dalam relung hatiku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menampilkan keikhlasan, mencoba untuk menerima nasib yang telah Tuhan gariskan.

Tidak mudah memang, rasa cemburu kerap datang untuk menghadang. Sedang iri hati mulai mengakrabkan diri untuk menjadi teman.

Aku bagaikan orang asing di dalam istana mahligaiku, yang tidak memiliki bahasa yang sama hingga aku tidak layak untuk bahkan berbicara dengan mereka.

Emosi yang terus menekanku, membuat tubuhku perlahan layu. Aku seperti bukan menjadi diriku yang dulu, banyak perubahan baru dalam tubuhku.

Ketika fajar datang, mual dan lemah acapkali menyerang. Membuat aku yang terabaikan, hanya mampu untuk mengerang.

Aku tidak bisa meminta bantuan siapa pun. Bik Sum yang biasanya paling mengerti diriku pun kini telah diberhentikan karena dianggap hampir mencelakakan Nadia dan bayi dalam kandungannya.

Sejak saat itu, aku tidak memiliki siapa pun untukku berbagi. Segala sesuatu untukku harus aku kerjakan sendiri, dari makanan sampai semua hal aku lakukan seorang diri.

Tak lagi kurasakan nyamanya menjadi ratu, karena kini--di istana senidiri aku tak ubahnya sebagai benalu. Yang hanya hidup menumpang dan acapkali 'tak dipandang.

Entah matahari yang terlalu terik atau mungkin tubuhku yang terlalu lemah, membuat aku hampir pingsan di pinggir jalan.

Beruntung banyak ibu-ibu yang saat ini sedang berkumpul. Mereka membawaku ke salah satu kursi dan memberiku minum, aku sangat bersyukur dengan mereka yang masih memiliki sedikit kepedulian untukku.

“Neng, sudah lebih baik?” tanya seorang wanita paruh baya.

“Iya Bu, terima kasih. Saya izin beristirahat sebentar ya, Bu,” pintaku dengan sedikit malu.

“Iya, Neng, istirahat saja dulu. Baru nanti kalau sudah lebih baik, Neng bisa pulang,” jawab salah satu di antara mereka.

Aku tahu, sedikit banyak mereka mulai mengetahui keadaanku saat ini. Perihal rumah tangga orang lain merupakan ladang gosip untuk para ibu-ibu ini, selingan di tengah keruwetan mereka sendiri.

Setelah merasa lebih baik, aku pamit untuk segera pulang. Kurasakan perutku akan memulai orkestranya jika aku tetap diam di sini.

Dengan perlahan, kembali aku kayuh langkah yang sempat terhenti. Berharap untuk segera mengolah sayur mayur yang sudah aku beli. Membayangkan ayam goreng dan sayur bayam plus jagung yang segar, membuat air liurku menetes.

Canda tawa yang terdengar, menyambut kedatanganku. Ah, rupanya Mas Bima sudah pulang. Aku memang tidak masuk lewat pintu depan, jadi aku tidak tahu jika sudah datang.

“Mas,” sapaku.

Aku ulurkan tanganku untuk mengambil tangannya. Tapi sebelum aku berhasil meraih pergelangan tangannya, dia sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya mengambil ayam goreng untuk Nadia.

“Ini, kamu harus makan yang banyak. Biar anak kita sehat,” ucapnya.

Mengabaikan diriku seutuhnya.

“Terima kasih, Mas,” balas Nadia.

Terlihat senyum penuh kemenangan menghias bibirnya yang merah. Matanya yang menatapku seakan menantang aku untuk membalasnya.

Madu  : Antara Cinta & LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang