Bab 3 : Air Mata Yang Kering

51 6 4
                                    


Rasaku terpenggal resah
Meringis pilu di sela desah
Tentang rasa selesai sudah
Hanya menyisakan setumpuk kisah

_Goresan Rasa_

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Apa yang paling aku benci, apa yang paling aku hindari kini terpaksa aku reguk setiap hari. Tidak peduli seberapa lama aku memohon, bersujud dan mengiba. Mereka tetap memaksa daksa menjadi raga tanpa nyawa.

Semuanya semakin menjadi setelah aku diketahui hamil 4 bulan  Aku yang mendengar semua itu seperti mimpi, bagaimana mungkin aku bisa hamil? Bukankah para dokter mengatakan aku mandul!

Tapi kabar bahagia tersebut malah menjadi boomerang untukku. Mas Bima semakin memandang jijik diriku, kata-katanya pun semakin terasa pedas dan pahit.

Aku tidak berharap banyak, mungkin inilah saatnya aku menyerah. Aku mungkin bisa menanggung beban, tapi bagaimana dengan anak dalam kandunganku?.

Aku memantapkan hatiku untuk menandatangani berkas perceraian. Biarlah saat ini aku kalah.

“Mas.” Aku mencoba mendekati Mas Bima.

Kini terselip rasa takut setiap kali aku melihatnya, mungkin alam bawah sadarku tanpa sengaja mengambil alih perasaanku.

Plak

Mas Bima melempar dokumen yang sedang dibacanya, aku yang melihat amarahnya yang mulai bangkit sedikit menyesal.

“Kenapa, Mas?” tanya Nadia.

“Kamu suruh dia pergi, saya tidak mau melihatnya.” Mas Bima sama sekali tak melihat ke arahku.

“Mbak, kenapa lagi sih?” tanya Nadia heran.

Tidak peduli seberapa banyak dia dihina, masih saja tetap bertahan.

“Aku- aku cuma mau menyerahkan berkas perceraian ini. Aku sudah menandatanganinya. Setelah ini aku akan keluar dari rumah ini,” jawabku ragu.

Sungguh bukan perkara yang mudah untuk memutuskan ikatan yang selama ini indah. Walau pun semua tidak lagi sama, tapi entah kenapa ada sedikit rasa tidak rela dan ingin terus berjuang yang masih meronta tak mau kalah.

Padahal rasa sakit ini sudah meresap sampai ketulang, sampai aku tak tahu apakah akan ada waktu untuk aku kembali mencecap bahagia.

Aku memberanikan diri untuk menatap suamiku, aku ingin melihat raut kemenangan yang akan menghias wajahnya. Tapi yang aku lihat sekarang adalah ketegangan yang memancar samar, berpadu dengan rona pucat yang menghias.

Apa yang salah? Apa aku terlalu berkhayal hingga mengaburkan pandanganku.  Entahlah. Satu yang pasti, semua tercetak nyata dalam sanubariku.

Hatiku sedikit menghangat melihat wajah itu sedikit menunjukkan raut yang tak lagi penuh amarah dan kebencian.

“Serius?” tanya Nadia girang.
Kebahagiaan terlihat nyata di wajah cantiknya.

“Ya,” jawabku singkat.

Tanpa berkata apa-apa lagi aku langsung menuju kamarku. Aku harus membereskan barang-barang aku yang tidak seberapa.

Sebelum pergi, aku mengambil pigura yang bertengger manis di atas dinding. Tanpa aku mau, kakiku telah melangkah dan tanganku meraih kenangan yang tertangkap lensa kamera tersebut. Ingatanku pun ikut serta memiliki kehendak sendiri, terbang dan larut dalam masa yang kini terasa seperti ilusi.

Flasback On

“Sweety, come here!” teriak Mas Bima.
Aku yang saat ini sedang memasak terpaksa harus menyerahkan urusan dapur kepada Bik Sum yang langsung mengambil alih.

“Tolong ya, Bik,” pintaku

Bik Sum hanya mengacungkan jempolnya dengan tertawa.

Aku yang melihat jawabannya hanya menggelengkan kepala. Wanita paruh baya ini sebenarnya lebih senang kalau aku memanggilnya Mbok, tapi aku tetap saja memanggilnya Bik. Dan akibatnya, Bik Sum sendiri mulai bingung dengan panggilannya. Kadang dia memanggil dirinya Bik Sum, kadang Si Mbok.

Mas Bima pernah menertawakan sebutan pengasuhnya yang mulai kacau, tapi Bik Sum tetap belum terbiasa dengan sebutan baru dariku. Entah kapan beliau mulai terbiasa aku tak tahu.

“Ada apa, Mas?” tanyaku begitu tiba di depan Mas Bima.

“Duduk di sini!” ajaknya dengan menepuk boncengan sepedanya.

Aku hanya menurut dan duduk sebelum bertanya, “Kita mau ke mana, Mas?”

“Kamu diam saja, pegangan yang erat. Kalau jatuh nanti kamu sendiri yang sakit.” Mas Bima  menjawab sambil mengayuh sepeda kesayangannya.

Sepanjang jalan kami isi dengan senda- gurau ringan, hingga kami tiba di tempat tujuan.

“Kita mau ngapain ke sini?” tanyaku heran.

“Bukannya kamu selalu ingin kita pergi piknik dengan naik sepeda, tapi karena mas tidak kuat jika harus membonceng kamu dalam jarak jauh jadi mas Cuma bisa ajak kamu piknik di taman kompleks.” Mas Bima menjawab sambil menurunkan keranjang yang dibawanya

“Sini, bantu Mas!” ujarnya.

Tangannya yang bebas menghela diriku agar mengikutinya.

Dengan bahagia kami isi pagi itu dengan tawa yang berderai. Kebahagiaan itu sederhana, hanya dengan piknik di taman pun akan terasa indah jika kita menjalaninya dengan orang yang kita cinta.

“Makan yang banyak, biar badanmu sedikit berisi.” Mas Bima menyodorkan ayam goreng kesukaanku.

“Terima kasih,” ucapku penuh syukur.

Aku yang menikah tanpa taaruf, benar-benar tidak menyangka jika pernikahan ini akan berjalan dengan manis.
Berbekal Istikharoh yang aku panjat di sepertiga malam, aku mantap mengucap bismillah untuk menerima baiat Mas Bima.  

“Makan bukan melamun,” tegurnya.

Dicubitnya hidungku dengan manja, “Apa yang kamu pikirkan?”

“Aku enggak melamun, aku hanya bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan aku jodoh yang baik seperti mas.”

“Jangan memandang dengan wajah seperti itu, kamu mau mas seret ke semak-semak.”
Aku lihat ada sedikit ketegangan di wajah tampan Mas Bima, apa penyebabnya aku tak tahu.

“Habiskan cepat, setelah itu kita pulang,” ucapnya.

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan makan siangku.

“Sebelum pulang, kita photo dulu yuk!” ajak Mas Bima, “Buat kenang-kenangan kencan pertama kita.”

Aku hanya tersenyum mendengar usulnya.

Kulihat Mas Bima memanggil seorang laki-laki yang berjalan di depan kami.

“Mas, boleh saya minta tolong sebentar?” tanya Mas Bima.

“Apa yang bisa saya bantu,” balas laki-laki tersebut.

“Saya minta tolong, Mas. Buat mengambil gambar kami. Saya harap, Mas tidak keberatan.” Mas Bima menjawab sambil menyodorkan kameranya.

“Oh, saya kira apa. Sini saya bantu.” Laki-laki itu mengambil kamera di tangan Mas Bima.
Setelah mendapat persetujuannya, Mas Bima mengajarkan kepada laki-laki di hadapannya cara menggunakan kamera. Tidak lama, gambar-gambar yang menangkap momen bahagia kami tertangkap.

“Terima kasih, mas,” ucap kami serentak.

“Sama-sama. Kalau begitu sekarang saya permisi.” Laki-laki itu pamit.

“Sekarang ayo kita pulang!” ajak Mas Bima, “Sekarang kamu bawa keranjang ini ya.”

“Siap, Komandan!” Aku memberi hormat ala tentara.

“Dasar.” Mas Bima mengecup keningku. Sontak aku terdiam. Hal itu membuat tawa Mas Bima terdengar.








Madu  : Antara Cinta & LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang