1. Awal Mimpi Buruk

98 9 20
                                    

Biarlah pekat memeluk
Hingga tenggelam dalam keabadian
Jika kelak Tuhan berkenan
Semoga gelap tak lagi mengutuk

_Sepenggal rasa_

🥀🥀🥀🥀

“Sah!” ucap penghulu menutup akad tersebut.

Sebuah kata yang bagiku terasa seperti hukuman mati, membuat sesak semakin mengimpit sempit.

Seruan Hamdalah serentak mengudara dalam ruang tamu yang saat ini telah diubah menjadi aula akad nikah. Rona kebahagiaan tergambar nyata dalam wajah semua tamu undangan, doa mereka pun mengucur seiring air mata yang sedari tadi aku coba tahan.

Butiran bening itu kini hampir membasahi cadar hitam yang menutupi sebagian wajahku, sebisa mungkin aku menahan jeritan hati ini. Berharap ada satu keajaiban yang bisa mengubah semua ini menjadi mimpi.

Sebuah pelukan terasa melingkupi tubuhku yang masih saja bergetar, aku sama sekali tidak menyadari kalau keriuhan tersebut kini telah berganti menjadi sunyi yang mencengkam. Hanya isak tangisku yang masih terdengar membelah.

“Mbak,” suara pengantin perempuan terdengar lirih ditelingaku.

Aku hanya diam, bibirku kelu.

“Maafkan nadia, Mbak,” ucapnya semakin memeluk tubuhku erat.

“Sudahlah, Nadia. Jangan hamburkan air matamu, ini adalah hari bahagia untukmu,” ucap laki-laki yang selama tiga tahun ini selalu menemaniku.

“Tapi, Mas---“

“Sudah, harusnya Nisa berterima kasih kepadamu!”

Ucapan tersebut semakin merobek-robek hatiku yang saat ini sekarat.

“Yang dikatakan suamimu benar, Nadia. Aku harusnya berterima kasih kepadamu. Maafkan mbak yang tidak bisa bersikap benar ini,” ucapku lirih.

Kucoba melepas pelukan adik kandungku tersebut, berharap untuk segera pergi dari tempat yang bagiku seperti neraka ini.

“Selamat untuk kalian berdua, semoga Allah memberikan kalian apa yang tidak diberikannya kepadaku. Aku permisi.”

Aku sudah tak sanggup lagi, tanpa menoleh ke belakang aku terus berjalan. Kakiku yang terasa seperti jelly tak membuatku berhenti meninggalkan semua orang.

Begitu pintu kamar aku tutup, tubuhku tidak lagi mampu menahan beratnya luka yang saat ini menyapa. Membuatku luruh dalam kelam yang datang mencumbu.

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, satu yang pasti itu lebih dari cukup untuk membuat seseorang sadar jika aku tidak keluar lagi pasca akad tersebut. Tapi melihat posisiku saat ini, sepertinya tidak ada seorang pun yang telah menyadari kealfaanku.

Aku tersenyum miris, inilah aku. Seorang istri yang tidak berguna, seorang istri yang bahkan tidak layak untuk dipertahankan karena kondisiku saat ini.

“Ya Allah, aku lelah. Bolehkah aku menyerah? Aku tak ingin hatiku semakin patah, tolonglah aku. Angkatlah semua resah,” bisikku dalam doa.

Tok... Tok... Tok...!

“Non, ini bik sum, boleh bibi masuk?” Suara keibuan terdengar dari balik pintu

“Iya Bik, silakan masuk. Pintunya tidak saya kunci,” jawabku senggau.

“Non, Tuan bilang. Non harus siap dalam waktu satu jam," ucap si mbok begitu masuk.

Aku hanya mengangguk tanpa melihat sedikit pun ke arahnya, aku tak mau melihat siapa pun saat ini.

Madu  : Antara Cinta & LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang