.
.
.Suasana membosankan mengawali Sabtu pagi ayah Juna. Untuk menghilangkan kebosanan itu ayah pun menghidupkan televisi yang menampilkan berita terkini di masyarakat.
Hari ini sebenarnya ayah Juna ada rapat diperusahaan, berhubung rapatnya agak siang jadi ayah memilih untuk bersantai lebih dulu dirumah.
"Ayah hari ini nggak usah ke kantor ya, dirumah aja sama Ewa." Ucap Sadewa sambil berjalan menghampiri ayah Juna. Setibanya di depan ayah Juna, Sadewa langsung saja duduk dipangkuan ayah sambil menguselkan kepalanya manja ke leher sang ayah.
Rasa panas langsung saja menjalar ke leher ayah Juna. Dengan perlahan tangan ayah Juna bersambang ke kening si bungsu. Benar saja ternyata si adek tengah mengalami demam yang lumayan tinggi, pantas saja pagi-pagi sudah bertingkah manja.
"Kemarin abis ujan-ujanan ya disekolah. Kan udah dibilangin kalo ujan langsung pake jaket terus pulangnya pake payung. Ngeyel kalo dibilangan, jadi sakit kan sekarang. Kan tiap hari payungnya udah disiapin sama mbok Asih." Ayah Juna tuh sebenarnya kasihan tapi kalau nggak ngomel nggak afdol aja, kayak ada yang kurang gitu.
Wajar saja, sebagai seorang single parent ayah Juna merasa harus selalu mencurahkan kasih sayang ke kedua buah hatinya. Kurangnya figur seorang ibu di kehidupan keluarganya menjadi faktor utama kenapa ayah Juna menjadi orang yang selalu overprotektif jika menyangkut kedua putranya.
"Kemarin tuh Ewa keluarin payungnya dari tas, kan kemarin siangnya juga ujan. Tapi terus Ewa lupa masukin lagi, jadi ketinggalan diloker deh." Ujar Sadewa beralasan. Memang pikun sekali manusia satu ini.
"Nggak usah alesan deh, kemarin payungnya udah gue bawa ya. Lo nya aja yang bandel, waktu dipanggil bukannya berhenti malah ngibrit lari, dikira gue setan apa." Nakala menyahuti si adek dengan nada judesnya sambil membawa mangkok berisi bubur dari dapur.
Sebenarnya Sadewa tidak bohong saat mengatakan payungnya ketinggalan diloker. Kemarin entah mengapa Nakala berinisiatif untuk mengecek loker kembarannya, mengingat sifat si adek yang 11 12 dengan Patrik yang gampang lupa, pasti ada beberapa barang penting adeknya yang tertinggal.
Benar saja saat membuka pintu loker, matanya langsung disuguhi seonggok payung lipat berwarna hitam seperti yang sering ia bawa akhir-akhir ini. Dengan gerak cepat Nakala pun langsung mengambil dan berlari menyusul Sadewa yang berjalan pulang lebih dulu. Dan kalian tau kelanjutannya.
"Ya Abang sih manggilnya bar-bar akunya kan jadi kaget terus lari." Ada saja alasannya makhluk satu ini. Sebenarnya Sadewa mau melanjutkan ocehannya berhubung kepalanya semakin sakit jadi dia memilih untuk mendengarkan pitutur luhur dari ayah dan abangnya.
"Udah dulu ributnya, nanti disambung lagi. Sekarang kalian berdua sarapan dulu, trus adek minum obat biar cepet turun demamnya." Jika tidak segera ditengahi pasti adu mulut kedua anaknya akan terus berlanjut. Ayah Juna lalu mengambil mangkok ditangan Nakala dan menyuapi Sadewa dengan telaten.
Nakala pun berlalu menuju meja makan untuk mengambil sarapannya lalu kembali ke ruang tengah untuk makan bersama adeknya.
Beberapa menit terlewati dengan bunyi dentingan sendok dan piring. Ayah Juna dengan cepat menyelesaikan acara suap menyuapi Sadewa dan mengambilkan obat demam anak itu dilaci nakas.
Bagaimana bisa ada dinakas? Ya karena memang disetiap sudut rumah ayah terdapat banyak obat-obatan. Bukan untuk dijual tentunya hanya untuk kebutuhan setiap anggota keluarga jika ada kejadian mendadak seperti pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Life
Teen Fiction" Hidup itu simpel, jalanin apa yang kamu suka selagi kamu bisa dan gak merugikan diri kamu serta orang lain. " Ly