🎲 day 2.1

1.9K 183 6
                                    

"Dia bilang begitu?" Vicky berusaha mensejajari langkah Vara yang terburu-buru ke kantin.

Jam istirahat ini dia tidak mau menghabiskan waktu dengan menangis di kubikel. Sepertinya dia kurang cairan setelah mengeluarkan berliter-liter air mata semalaman. Dengan ditemani Vicky yang kebetulan pulang lebih cepat ke kantor karena sudah deal satu iklan yang lumayan besar, Vara memutuskan untuk mengganti cairannya yang hilang di kantin.

"Dia bilang selama empat tahun itu always about me. Dia nggak punya waktu buat mikirin diri sendiri. What the .... He likes .... Ahh!" Vara menghentikan langkahnya dan memejamkan mata. Kedua bibirnya terkatup rapat.

"Sabar, Ra. Sabar. Gue tahu, Mahes kayak bukan dia yang lu kenal. Gitu, kan?" Vicky menepuk-nepuk bahu Vara lalu merangkulnya. Mereka melanjutkan perjalanan ke kantin. Di belakangnya, Kanaya berjalan mengikuti sambil matanya tak lepas dari layar ponsel.

Vara mengangguk mengiyakan kata-kata Vicky. Tarikan napasnya terdengar berat. Di dalam kepalanya terulang kata-kata Mahes semalam. Tepat seperti yang Mahes katakan, apa yang diucapkannya memang membuat Vara menangis semalaman.

Tiba di kantin, tidak banyak bangku yang tersisa untuk diduduki. Vicky melihat ada satu meja dengan empat kursi yang mengelilinginya. Hanya satu orang yang duduk di situ dan Vicky mengenal siapa dia. Didekatinya lelaki yang sedang menyuapkan nasi soto ke dalam mulutnya.

"Eh, lu pindah, gih!" usir Vicky.

"Apaan, sih, Ky. Orang lagi makan juga," katanya sambil melanjutkan makan.

"Ya udah kalau nggak mau minggir. Jangan risih, ya." Vicky pun melambaikan tangan pada Vara dan Kanaya. Menyuruh mereka mendekat. Dia lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Danu.

"Hai, Nu," sapa Vara ketika disadarinya siapa lelaki yang tadi berusaha diusir Vicky. Danu sering meminta dibuatkan harga paket iklan untuk diajukan ke klien. Dia dan Vicky sama-sama anak iklan hanya saja Danu belum lama bergabung dan dia dua tahun lebih muda dari Vicky dan Vara.

"Eh, Mbak Vara. Makan, Mbak?" tanyanya sambil mengangguk ke arah Vara yang menarik kursi dan duduk di sebelah Vicky. Diikuti Kanaya yang duduk di samping Danu.

"Enggak. Mau berak," jawab Vicky ketus.

"Mbak Vicky ini, ya omongannya. Nggak lihat saya lagi makan?" protes Danu sambil meletakkan sendoknya.

"Ya, lagian lu nanya yang udah jelas. Ke kantin, ya kalau nggak makan pasti minum. Masa kudu diperjelas lagi?"

"Mana tahu mau ngerokok." Langsung Danu menutup mulut usai mengatakan hal itu. Sontak Vara dan Kanaya memandang ke arah Vicky.

"Lu masih ... frente?" tanya Vara sambil menggerakkan tangannya di depan mulut maju mundur. Simbol orang sedang merokok.

Dulu mereka memang perokok sambil mendengarkan lagu-lagu band Frente. Rasanya damai banget, sampai tak sadar sudah habis berapa batang. Itu dulu, sebelum Vara bertemu Mahes. Sekarang Vara berhenti, Jo berhenti, Kanaya memang tidak pernah menyentuh barang satu itu, dan Vicky ... mereka pikir dia juga berhenti. Ternyata belum.

"Sekali-kali, Ran. Nggak habis sehari sebungkus, kok."

"Serah, lu, sih. Itu hak elu dan lu juga udah baligh. Ngerti mana yang iya dan yang enggak," ujar Vara mengangkat bahu. Dia melayangkan pandang ke arah Kanaya yang masih asyik dengan ponselnya. Seolah dia dan ponsel adalah sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Seperti ... Mahes dan Hanindita? Ahh ... nyeri hati Vara ketika memikirkannya.

Kata-kata Mahes semalam memantul-mantul di dinding kepala Vara.

"Menjalin hubungan sama kamu itu toxic buat aku. Selama ini kamu terus yang minta diperhartiin. Kamu suka sakit, kamu suka ngeluh, kamu suka ngelarang nggak boleh ini, nggak boleh itu. Aku nggak bisa jalan sama temen-temen aku--"

14 HARI SEBELUM PUTUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang