SATU

189 13 0
                                    

4 Oktober 2020

Tapi, aku juga punya kehidupan diluar kehidupan normalku yang terus berlanjut...; kehidupanku sebagai warga negara. Selama satu hari ini fikiran-fikiran untuk ingin berontak dan berteriak-teriak terus berusaha keras untuk minta disuarakan. Rasanya perasaanku tak mampu lagi untuk bisa meredam gejolak perasaan yang menyatakan bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.

Dihajar dengan virus Covid-19 Indonesia rasanya seperti orang babak belur. Berdarah disana-sini dan tertatih-tatih untuk bisa kembali bangkit berdiri karna tak ada yang benar-benar mau memberi pertolongan yang serius. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, negara ini harus makin bersusah payah pergi dari keterpurukan virus ketika mereka yang menjabat di posisi-posisi strategis malah asik sendiri dengan dinamika perpolitikan yang aromanya busuk sekali.

Pada malam hari ini, lini masa Instagramku banjir postingan dengan hashtag Mosi Tidak Percaya. Perutku mual hingga ingin berkata kasar.

Fenomena ngebut yang terjadi di dalam gedung parlemen untuk menuntaskan UU Omnibus Law terasa begitu memelintir perut. Aku tak pernah membayangkan rasanya akan segetir ini membaca berita soal pemerintahan. Aku bahkan rasanya tak mampu membaca segala berita tanpa ingin marah dan menyumpah serapah. Hingga sebuah pesan masuk dari kawan yang sudah lama tak menghubungiku. Irsyad.

Gue yakin lo pasti udah tau. Ini beneran gawat, Mel.

Aku merasakan gemuruh di dadaku. Rasanya sesak setiap kali aku bernafas dan mengingat apa yang baru saja terjadi. Sebagai alumni yang dulu ikut demo September tahun lalu, rasanya tak bisa bagi kami berdua untuk tutup mata dan tutup telinga soal ini.

Bukan gawat lagi. Ini sudah masuk zona bahaya, balasku.

Irsyad mengetik

Jegal sampai gagal. Kalau sukses pasti bakal ada demo besar-besaran. Persetan dengan virus. Urusan mati karna perut kosong lebih penting dari sekedar menahan diri dalam rumah dan melihat undang-undang ini melenggang tanpa halangan.

Aku menatap layar smartphone-ku membaca pesan Irsyad dengan perasaan seperti ditusuk-tusk jarum... nyeri.

Aku menghela nafas, menangkap marwah aktivis dari Irsyad terasa masih begitu kental dibalik keperibadiannya yang supel dan humoris, bahkan ketika kami sudah diwisuda dan sudah berpisah.

Ini mimpi buruk... kataku.

Irsyad mengetik dan pesan secepat kilat muncul dilayar smartphone-ku dalam hitungan detik.

Ini bukan mimpi buruk. Ini bencana yang udah terjadi di depan mata.

Kamis, Bulan OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang