LIMA

100 8 0
                                    

Kamis, 8 Oktober 2020

Aku mengais-ngais sedikit tempat di otakku untuk tetap bisa benar-benar fokus dengan tugas kantor tanpa harus diinterupsi keinganan untuk bersegera pergi dari rumah atau sekedar membuka smartphone-ku yang sejak matahari terbit sudah banjir berita demonstrasi disana-sini.

Aku bekerja keras untuk semakin mempercepat proses tugas copy writing-ku sambil berusaha untuk tidak lost contact dengan Irsyad yang turun di lapangan agar bisa menjemput bantuan logistikku tepat waktu.

Suara live report dari tv nasional menderu-deru diruang tengah. Mama lebih banyak diam tanpa berkomentar yang berlebihan. Sementara aku terus berusaha untuk menyaring setiap informasi yang terbit di lini masa dan media pers yang sudah diperas disana sini. Disituasi seperti ini, kesempatan untuk melempar kebohongan sangat mungkin terjadi. Ada saja yang memang sengaja membentur-benturkan untuk memecah bela aksi yang masif terjadi dimana-mana.

Fikiranku melayang setahun yang lalu. Memutar film dimana aku jadi peserta demonstrasi. Betapa 'romantis'-nya bisa ikut turun di jalan, dibungkus dengan sekian banyak kejadian menegangkan namun sangat berkenang. Memang benar kata Papa, sisa demonstrasi memang akan membekas dan tidak akan pernah pergi. Kini dimasa pandemi, aku hanya berkurung diri di rumah. Belum bulat tekadku untuk benar-benar bisa turun langsung. Seperti dilematisku dulu. Tapi aku percaya, cara berjuang orang untuk memperjuangkan keadilan bisa dilakukan dengan banyak cara. Siapapun bisa berkontribusi dengan cara yang mereka mampu, seperti bergerilya di sosial media menggaungkan aksi ini akan menaikkan kesadaran masyarakat akan situasi politik yang sekarang terjadi. Pun jika kau hanya bisa berdoa, itu juga sudah bisa dikatakan kau sudah ikut berjuang. Hingga disela-sela banjir hirup pikup fikiranku soal demonstrasi dan kebencian dangan situasi politik negri saat ini, Irsyad membalas pesanku.

Dengan senang hati akan gue ambil. Jam 3 depan Istiqlal. Makasih banyak Mel, that's mean a lot. Thanks for the suprise logistic-nya

Aku buru-buru membalasnya.

Semua masih aman-amankan disana?

Ia membalas cepat

Lo jangan tanya aman atau enggak kalau masih jam sembilan pagi. Semua bakal berubah kalau udah sore. Tapi sejauh ini aman. Sampai jumpa jam tiga.

Aku menghabiskan waktuku hingga pukul dua belas untuk menyelesaikan kerjaanku. Sesekali menyerapah mendengar pernyataan yang jelas hanya narasi hiperbola dilontarkan oleh para pengambil kebijakan. Seperti alergi yang bikin gatal, rasanya itu semua tak ingin kudengar. Ingin kututup telingaku, seperti mereka menutup telinga dari jeritan rakyat.

Pukul dua aku sudah tiba di Florentia Bakery. Ditemani Mama, aku mengambil pesanan Papa yang kutambah menjadi 70 kotak roti. Meski belum berpenghasilan besar, ini bisa jadi sedikit membantu mereka yang turun dilapangan dan mungkin sedang kelaparan.

Jakarta rasanya terbakar. Api demonstrasi terasa menyengat sampai keurat nadiku meski mobil menghembuskan udara dingin dari AC. Aku bisa merasakan kemarahan, kekecewaan dan kesedihan yang terakumulasi dijalanan hingga menembus dinding-dinding disekitarku.

"Mama sedih banget lihat kondisi kayak gini" ucap Mama memandangi luar dari jendela di sampingnya.

"Semua sedih Ma. Makanya ini harus dilawan" kataku berusaha sedikit menghiburnya.

"Mama gak pernah ikut demo. Gak aktif organisasi. Bukan aktivis. Tapi Papa sama Kamu..." Mama memandangiku, kalimatnya menggantung diudara. Aku meliriknya sekilas disela-sela fokusku untuk mengemudi. "Bikin Mama bangga"

Aku tersenyum mendengar ucapan Mama. Ucapan yang terasa begitu jujur.

Aku tiba di Masjid Istiqlal jam tiga kurang sepuluh menit. Dan Irsyad sudah disana bersama delapan orang lain dan empat orang laki-laki diantaranya dengan almamater berbeda.

"Makasih banyak ya Mel. Lo ngasih ini udah kayak lo turun demo sumpah" ucap Irsyad. Kening wajahnya penuh dengan keringat "Makasih banyak ya tante ngerepotin sampai harus dateng kesini"

Mama hanya tersenyum ramah menanggapi Irsyad.

"Lo tetap hati-hati. Sekarang jauh lebih bahaya dari setahun lalu" kataku.

Irsyad mengangguk-anggukan kepala, paham maksud apa yang aku sampaikan.

"Sekarang emang beneran bahaya. Tapi banyak juga yang tetep baik hatinya. Doain semua baik-baik aja Mel"

Aku menganggukan kepala dengan nafas berat. Rasanya sangat menyiksa ketika aku menyadari kata 'baik-baik aja' terasa seperti awan mendung dan hembus angin dingin yang memberi tanda badai akan datang.

"Tetep saling jaga. Dan kalau ada perlu apa-apa jangan sungkan hubungin gue"

"Pasti" jawab Irsyad mantab dengan mengangkat kedua alisnya.

Ia kemudian pergi bersama delapan kawannya berjalan kaki meninggalkan pelataran masjid Istiqlal dan tak kutau harus berjalan seberapa jauh untuk menuju titik temu kawan-kawannya sekarang. Rasanya berat melihat Irsyad pergi dengan jas kampus yang sudah ia tanggalkan beberapa bulan lalu. Aku merasa seolah melepas seseorang yang kau peduli berjuang di medan tempur peperangan tanpa pernah ada kepastian dia akan kembali pulang.

Kamis, Bulan OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang