Irsyad membenarkan posisi duduknya dan meletakkan smartphone-nya dalam posisi landscape hingga seolah-olah aku bersiap untuk menunggu sang pemateri seminar untuk berbicara.
Irsyad: kalo lo ngira demo kita di 2019 itu menegangkan, gue rasa tahun ini super jauh lebih menegangkan
Aku bersiap memasang telinga sambil berusaha menerjemahkan air mukanya yang serius namun jelas berusaha meredam gejolak api kemarahan.
Irsyad: Lo tahu sendiri demo kemaren itu kayak gimana ramenya, tapi lo juga tau kan yang dicariin itu pada gak ada. Brengsek banget gak sih Mel. (wajah Irsyad merah padam, jika saja ia korek api dia mungkin sudah memercikan tanda-tanda terbakarnya) Demo kemarin itu masih jauh dari kata selesai. Masih panjang jalan buat benar-benar bisa menang
Aku: gue juga mikir kayak gitu. Gue takut ini bakalan kayak tahun lalu. Mandek gitu aja hanya demi euforia sesaat dan fokus soal fasilitas umum rusak yang gak jelas siapa yang ngelakuin
Irsyad: bukan gak jelas siapa yang ngelakuin Mel. Yang bakar-bakar kemarin itu jelas ada. Emang udah diniatin buat ngerusak fasilitas umum itu buat distraction. Mereka tau, kita itu gampang banget dibelokin sama isu kayak gitu. Cuman gue pengen, jangan ngediskreditin demo. Kalau gak setuju, lo bisa ambil peran di jalan yang kau yakini benar. Yang perlu di highlight, bukan masalah demonstrasinya, tapi kenapa sampai harus ada demonstrasi. Tau sendiri kan berkontribusi tidak harus turun ke jalan
Kami berdua sama-sama diam untuk sesaat meresapi diskusi kami yang baru saja dimulai. Ini seolah membuka kotak memori September tahun lalu. Memutar ulang kilas balik perjuangan mahasiswa Reformasi Dikorupsi yang mengabur seiring berjalannya waktu.
Irsyad: kalo lo buka Ig, buka Twitter pasti paham tentang apa aja yang udah terjadi seharian kemarin
Aku mengangguk-anggukan kepala setuju. Aku tau yang terjadi di lini masa sosial media semingguan ini, yakni;
Pertarungan antara malaikat baik dan iblis jahat di depan mata umat manusia yang sedang gundah gulana dalam memutuskan perkara soal Omnibus Law.
Irsyad: tapi Mel, gue dulu paling sangsi soal gen milineal. Gue pernah punya stigma mereka manja, serba instan, serba digital. Tapi sebagai yang udah dua kali ngerasain turun ke lapangan di perhalatan demo akbar negri ini. Gue akhirnya sadar kalau ya para milineal itulah yang turun ke jalan; yang nyuarin aspirasi, yang harus dicabik-cabik persoalan negri yang sepuluh tahun belakangan jarang terjadi. Dan gue punya kepercayaan kalo mereka ini adalah generasi yang paling mudah untuk di edukasi karna keuntungan lahir di era revolusi teknologi
Aku: Setuju. Generasi ini cuman perlu dikasih asupan dan literasi yang tepat agar tidak mudah di adu domba sana-sini dan diperalat orang-orang jahat
Irsyad: Yap, betul. Terlepas ada yang lucu, ada yang uwu-uwu, ada yang bikin sedih, ada yang anarkis, gue gak akan pernah menyesal soal demo, Mel. Demonstrasi itu emang harus berisik, supaya di dengar. Kalau gak berisik itu namanya diplomasi. Dan gue kira mereka yang masih setengah hati buat nolak UU ini, mungkin baru kenalan sama nih undang-undang waktu udah ketok palu dan viral di sosial media. Padahal sebenarnya, demo-demo soal UU ini bukan cuman buat buruh aja, bukan untuk mahasiswa aja, bukan hanya untuk petani dan nelayan. Tapi untuk segenap 200 juta lebih rakyat indonesia dan generasi yang akan datang. Ini gak hanya soal kontrak kerja, bukan hanya sekedar menyederhanakan birokrasi untuk dapat investor, tapi ini soal hidup ditengah keterjepitan antara bekerja keras seumur hidup tanpa pernah punya apa-apa atau mati karna kerusakan alam karna sudah tak bisa lagi makan apa-apa
Aku: I wonder..., kenapa SDA kita, mineral kita, laut kita, harus dijual ke asing. Kenapa tidak kita kelola sendiri. Kenapa harus sibuk promosi investasi. Apakah SDM negri ini memang sekacung itu, hingga kita harus menjajakan kekayaan hayati dan manusianya pada pihak luar negri? Apakah memang manusia-manusia di negara ini otaknya gak ada yang bisa di upgrade biar setara dengan SDM luar negri yang punya kualitas? Gue ngerasa undang-undang ini bikin film Elysium benar-benar terasa nyata. Para investor itu akan hidup nyaman dan mewah di Space Station sedangkan kita di bumi hanya menjadi suplier dari segala kebutuhan mereka yang berada diatas bumi. Kita gak punya apa-apa hanya sisa-sisa sampah yang tak bisa tembus angkasa
Irsyad: Bener. Kalau negara ini udah sakit komplikasi, gak semua rumah sakit mau bantu buat ngobatin. Apalagi kalau kita udah jadi orang miskin
Aku: Gue jadi inget kata papa gue, "harus ada harga yang dibayar untuk sebuah perubahan." Omnibus dengan ancaman kehancuran berkepanjangan atau porak poranda dalam hitungan jam. Gue pilih yang kedua.
Irsyad: Gue berharap ini gak akan berhenti disini, Mel. Gak berhenti di demo kemarin sampai benar-benar dibatalin. (Irsyad mengacak-acak rambutnya, frustasi) Gue sumpek banget tau Mel gara-gara nih undang-undang. Bikin gue nambah dosa gara-gara sering ngomong kotor bangsat
Aku tersenyum simpul mendengar keluh kesah Irsyad. Meski serius, tapi aku menikmati setiap dialektika yang hidup diantara kami berdua.
Aku: gue percaya masih banyak orang baik di negri ini
Irsyad: banyaaaaak, tapi kita perlu lebih banyak. Kalau perlu kita kloning orang-orang baik itu, biar bisa ngalahin mereka yang jahat. Kita butuh lebih banyak lagi orang yang berani untuk merobohkan sistem kezaliman di negri ini. Mereka yang panas-panasan, bertahan sampe malam di jalanan, lupa kalau ada bahaya covid mengintai, nyawa taruhan tapi tetap aja berangkat itu adalah sebuah pengabdian. Entah demonstran, entah polisi, entah TNI, entah abang ojek online, abang cilok, petugas medis sampe emak-emak yang turun ke jalan itu pahlawan. Apa yang terjadi kemarin adalah manifestasi akan kecintaan kepada negri ini yang jelas nyata, lebih nyata dari sekedar duduk nyaman dalam kantor parlemen ber AC dan berkursi empuk
Aku memandangi Irsyad, aku berdecak kagum dengan cara berfikirnya. Dibalik matanya yang berapi-api ia jelas memendam kecewa dan sedih tapi coba ia tutupi.
Aku: lo harus jadi orator. Gue percaya lo pasti keren banget
Irsyad: (terkekeh) banyak yang lebih keren dari gue. Gue udah uzur tua kayak gini. Adek-adek mahasiswa kita, para buruh, para tani semuanya kalau pidato sambil pegang mic atau bawa toak mereka kayak kesamber Bung Tomo
Aku: (aku kembali tersenyum mendengar ucapannya) gue seneng bisa ngobrol sama lo lagi. Gue kangen diskusi kayak gini
Irsyad: (wajahnya memerah tersipu malu yang ia coba-coba ramu). Berapa pun usia kita ntar Mel, entah sibuk kerja kek atau sampe gendong anak cucu kita, kita gak boleh buta politik, titik.
Dan percakapan dengan Irsyad nyaris berlangsung tiga jam. Dari siang menuju sore, hingga sore menuju senja. Lanjut bicara soal Judical Review yang sarat akan kemustahilan, proses tracking orang-orang yang hilang dan ditangkap, solidaritas dari masyarakat, anak STM yang lagi-lagi bikin kejutan, naskah undang-undang yang tak kunjung menemui titik terang, kemungkinan serangan balik dari para buzzer bayaran hingga hipotesis skenario aktor-aktor perusakan fasum saat demo yang bukan dari kalangan demonstran. Tapi akhir dari itu semua, aku dan Irsyad sepakat, ini tak boleh sekedar berhenti disini. Ini akan dilupakan seiring dengan berjalannya waktu jika dibiarkan begitu saja. Isu ini harus terus mengudara agar penguasa tak lagi bikin gaduh dan terus berulah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamis, Bulan Oktober
General Fiction[Sequel Suatu Selasa di Bulan September] September selalu seperti itu, bukan ceria tapi gelap gulita. Kuharap Oktober akan membawa secercah cahaya.