DUA

150 10 0
                                    

Senin pagi, dibuka dengan perasaan terbakar karna emosi. Apa yang dikatakan Irsyad adalah benar, ini bukan mimpi buruk. Tapi ini bencana yang sudah terjadi.

Tanggal lima Oktober terasa menyakitkan ketika ketukan palu di atas meja pimpinan DPR itu secara resmi menuntaskan agenda pengesahan UU Omnibus Law.

Aku tercenung di atas kasurku. Dirambati perasaan kesal dan amarah. Tak tau lagi harus berkata apa-apa. Negara ini sakit dan sekarang makin banyak komplikasi. Ketakutanku selama ini seolah dibayar tuntas dihari senin yang terasa super berat. Bagaimana mungkin disituasi serumit pandemi ini pemerintah bisa begitu tidak peduli.

Selagi aku membaca setiap kabar baru dari lini masa Twitter-ku, aku selalu menghela nafas, memastikan aku tetap waras dan tak menghancurkan benda apapun di dalam kamar. Aku tak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya dikhianati pemerintah.

Mel...Sebuah pesan masuk dari Irsyad.

Gue pengen nangis... sambil marah-marah, sambil berkata-kata kotor

Irsyad membalas dengan cepat. Gue udah marah-marah gue, gue udah jungkir balik pengen salto, dan gue udah nyumpah serapah sekebun binatang keluar semua

Aku membutuhkan Irsyad disaat seperti ini. Ia akan selalu jadi orang yang tepat untuk muncul dikala negara dalam isu tidak baik-baik saja. Aku seolah melihat diriku yang lain dari Irsyad, dalam versi yang lebih baik, kurasa.

Gue gak tak tahu harus gimana, atau ngomong apa? Gue ngerasa ibu pertiwi sekarat

Irsyad mengetik ...

Ibu pertiwi sekarat, harus segera diberikan pertolongan paling cepat. Gue yakin lo pasti udah baca di grup alumni soal rencana demonstrasi lagi

Dan selama pagi ini, aku sudah menemukan soal desas-desus itu, bermunculan dalam grup-grup ormawa, tapi aku belum benar-benar mencari tahu detil setiap rencananya.

Itu terlalu beresiko, bukan begitu? Balasku dengan perasaan ragu.

Lo punya alternatif yang lebih baik?

Turun ke jalan adalah jalan yang terbaik ketika kita gak punya siapa-siapa lagi yang bisa dipercaya buat ngebela hak-hak kita

Aku terdiam memandangi layar smartphone-ku. Pertanyaan Irsyad jelas berdasar. Tapi kenyataan berdemonstrasi ketika masa pandemi membuat batinku terusik. Lagi-lagi dilema ke penyakit lama seperti tahun lalu. Selalu berulang, pertanyaan-pertanyaan soal urgensi aksi demonstrasi. Akal sehatku bilang, jangan, virus diluar sana berbahaya. Tapi nuraniku bersikeras, nasib 270 juta rakyat dirampas keadilannya.

Irsyad kembali mengetik. Ia jelas hafal dengan tabiatku yang gampang diombang-ambing.

Gue tahu lo pasti bimbang.

Tapi gue percaya lo juga udah paham kalau cara berjuang gak harus turun ke jalan.

Kalau lo emang berminat, besok bisa kumpul dirumahnya Felicia jam 5 sore.

Aku belum bisa melalui pergulatan batin ini. Terus diusik oleh pikiran jahat yang dulu sempat berhasil memenjaraku dalam kebosanan saat demo tahun lalu. Aku tak ingin mengulanginya lagi hingga kudengar suara Mamaku memanggil dari luar pintu kamarku.

"Mel?"

"Iya ma?" sahutku bersiap memasang telinga.

"Udah jam sebelas, kenapa belum sarapan?" tanya Mama pasti sadar aku belum keluar kamar sejak pagi tadi.

"Habis ini" sahutku.

"Buruan kasihan perutmu" ucap Mama.

Aku harus makan. Karna melawan itu butuh tenaga. Kuletakkan smartphone-ku dan beranjak keluar dari zona paling nyamanku dirumah untuk sarapan sekaligus makan siang sambil menimbang-nimbang demo atau tidak. 

Kamis, Bulan OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang