"Di camping selanjutnya, mana ada kalian bertemu toilet. Ada sih, tapi harus jalan setengah jam. Sanggup kalian menahan buang air setengah jam, sambil berjalan kaki di jalan yang enggak rata?"
Secara tidak sadar, aku ikut menggeleng mendengar pertanyaan kakak pengajar pramuka itu. Bahkan aku tidak tahu dimana mereka mau camping.
"Nah, maka dari itu, hari ini kalian harus membuat desain dan prototype toilet kalian dulu. Jangan sampai pengalaman Kakak terulang seperti dulu. Waktu itu, Kakak merasakan ada panggilan alam dari dalam perut. Ada bom atom yang mau meledak. Kebetulan tempat Kakak camping itu dekat dengan sungai, jadi enggak pakai pikir panjang, Kakak langsung ke sungai itu.
"Langsung deh, panggilan alam itu Kakak lakukan di sungai. Enggak ditutup apa-apa. Da enggak ada siapa-siapa di sana. Eh, tahunya ada orang lewat. Teuing da dia teh enggak peka, enggak bisa lihat Kakak lagi melakukan panggilan alam, atau urat malunya putus, malah menyapa Kakak geura. Untung cowok."
Aku langsung menutup mulutku, menahan tawa yang ingin keluar. Rasanya sudah di ujung lidah, tinggal keluar saja.
"Ya sudahlah ya, dijawab weh sapaannya ku Kakak sambil berharap cepat pergi orang itu. Eh, enggak pergi-pergi dong. Dia malah bertanya, 'Lagi apa, Kang?' Kakak teh langsung merasa, enggak bener ini orang. Sudah tahu lagi panggilan alam, malah bertanya lagi apa."
Aku sudah enggak kuat menahan tawaku. Ia sudah meluncur keluar dari mulutku di pertengahan kata-kata sang Kakak Teddy Bear. Bukan tawa terkikik kecil lagi, tapi tawa paling lepas yang pernah kulakukan dalam beberapa minggu terakhir. Tapi, tawaku masih kalah oleh tawa anak-anak pramuka yang mendominasi telinga.
Harus kuakui, dengan cerita yang memorable seperti itu, anak-anak pasti akan lebih mengingatnya. Ingat materi yang diajarkan, ataupun ingat kakak pengajar itu sendiri.
Kertas dan pensil di tangan belum bergerak. Apa yang harus kutulis? Pengalaman memalukan dari kakak pengajar itu? Ah, aku tidak bisa mengeluarkannya dari pikiranku. Caranya bercerita yang begitu tenang dan mendalami, padahal sedang menceritakan cerita memalukannya. Kelihatannya gadis berisik itu belajar dari kakak ini.
"Kamu masih di sini?"
Aku menoleh, kakak pengajar itu berdiri di sisi kiriku. Anak-anak pramuka tadi sudah tidak ada di tempat mereka duduk. "Apa tidak boleh?"
"Siapa yang bilang enggak boleh? Kakak cuma bertanya, 'Kamu masih di sini?' Memangnya Kakak bilang enggak boleh?" Seringai lebar di wajahnya. Aku menggeleng. Dia ada benarnya juga sebenarnya. Ia duduk di sebelahku, meneruskan, "Kakak mah yakin, mereka bakal memperbolehkanmu ikut latihan dengan mereka walaupun kamu enggak homeschool."
Aku mengangguk. "Saya memang hanya berniat menonton. Yang mengajar di sini hanya Kakak seorang?"
"Kalau Penggalang mah iya. Penegak sih terserah mereka mau ikut materi Penggalang atau materi mereka sendiri. Di usia mereka, seharusnya sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Mereka harus belajar siap menerima konsekuensi pilihan mereka. Untuk Siaga, ada Kak Monster dan Kak Bidadari."
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERIM: Let Me See Your Smile
Fiksi RemajaINTERIM: Let Me See Your Smile Axel belum pernah akrab dengan manusia lain. Mereka terlalu rumit dan tidak bisa dipercaya. Ditambah dengan kepergian kakak sulungnya yang meninggalkan trauma, untuk apa Axel mengulangi kesalahan kakaknya? Cukup buku d...