Part I : The Want for a Haappiness [Keinginan untuk sebuah kebahagiaan]
____
____Langit tampak begitu cerah.
Dari langit ke rerumputan, hingga pada lighthouse bersuara nada riang dibuat-buat, Lantai ke-2 terlihat amat cerah. Dibandingkan kebosanan abu dan biru di rumahnya, tempat ini menipu.
Semua kepalsuannya sangat memgganggu. Warna-warna itu memaksa menyembunyikan pemandangan jelek dibalik semua keindahan itu, namun sia-sia. Untuk segala hal yang disebut dengan kemewahan, Menara berbuih kebusukan. Tak ada apapun yang dapat mengubahnya. Bukan senyuman palsu itu, bukan wangi harum menggodanya, dan khususnya, bukan warnanya.
Menyaksikan kawan-kawan Regularnya saling membunuh satu sama lain hanya karena satu-dua kata orang lain dan dugaan mereka sendiri, dia berpikir pada dirinya sendiri, sungguh, ini adalah Neraka Evankhell.
Neraka, sebenarnya, kata yang tepat untuk sebutan Menara ini. Mungkin pada satu titik, Menara sesuai seperti yang seharusnya diperuntukkan: sebuah tempat yang memberikan kesempatan dan menjawab semua pertanyaan, sebuah petualangan untuk menjelajah. Namun melihatnya sekarang, menyaksikan adegan mengerikan di sekitarnya saat penghuninya membunuh satu sama lain tanpa pikir panjang, jelas terlihat bahwa kesempatan dan jawaban yang mereka cari takkan pernah muncul tanpa mengambil keuntungan dari orang lain.
Rambut yang pucat, petunjuk tersembunyi, senyuman cerah, dan visi keluarga.
Maukah kau melihatku, Aguero?
Melihat, selalu melihat. Itu hal yang sepela. Dia telah melakukannya sepanjang hidupnya. Demi keluarganya, dia hanya melakulan itu, sampai dia berhenti. Sampai dia berhenti.
Sampai dia berhenti.
Kukaku Rakukakuka.
Blarouse.
Grey.
Itu adalah nama-nama dibisikkan padanya saat mereka dengan masuk ke dalam Manbarondenna dengan kepercayaan penuh yang diberikan padanya. Sebuah kesepakatan, tawarnya. Aku akan membantu kalian.
Mereka setuju begitu saja.
Bodoh, tolol. Sudahkah mereka mendengar? Jangan mempercayai seorang Khun.
Jangan pernah mempercayai siapapun, bisik sang hantu. Jari-jari lenturnya menyisir poni di dahinya.
Tak ada gunanya mengkhianati mereka sekarang, tapi dia takkan ragu-ragu jika waktunya tiba. Mereka hanyalah pion. Di Menara ini, kau hidup, atau kau mati. Hanya itu. Tak kurang, tak lebih.
Dia terus melangkah, mencari. Sendirian, dia terus berjalan.
"Grrrr..."
Tak jauh darinya terlihat makhluk berwarna merah, banyak orang berarmor yang bergelimpangan di sekitarnya. Dia mengangkat tatapannya padanya, terus memandangnya.
"Hey, pria merah. Bisakah aku menanyakanmu sesuatu?"
Kesenangan berlipat di hatinya, saat dia melepaskan kata-kata itu. "Mengapa kau mencoba membunuhku? Aku tak melakukan apapun padamu."
"Huh?! Kau tak mengerti?!" Pria merah itu tertawa terbahak-bahak.
"Kita harus membunuh satu sama lain. Mereka yang bertahan akan menjadi pemenang! Itulah ujiannya!"
"Ujian, ya.... Aku tahu." Hal itu sama seperti dirinya yang menyumbat Menara ini. "Jadi itu yang dipikirkan orang tolol, huh..."
Seperti dengan yang diduga, pria itu menyerangnya. Tanpa memikirkan apapun, pria merah ini melompat dalam kekerasan. Apapun yang ia katakan tak lagi penting baginya, bukan karena berarti sejak awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tower of God : Il Principe
FanfictionCerita alternatif dari aslinya. Dalam kisah ini, Bam OP dari awal. ____ Karya terjemahan dari AO3, dengan judul sama. Link ada di dalam.