Kerlap-kerlip cahaya lilin putih yang menghiasi sebuah meja. Sayup-sayup terdengar lirihan nyanyian merdu dari suara Celine Dion 'The Power of Love'. Aku masih duduk menatapi sesosok wanita cantik dihadapanku. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami berdua. Sesekali ia melirik ke arah gelas didepannya, lalu tertunduk. Hanya diam. Dan membisu sesaat. Kalau akhirnya seperti ini aku tidak akan berusaha keras mempersiapkan candle light dinner untuk malam ini.
"Aku kira perasaan kita sama," kataku pelan memecah kesunyian. Aurelie menatapku lekat. Terlihat dibola matanya kesedihan yang tertahan. Aku bisa melihat itu dengan jelas.
"Maafin aku, Gio. Kedekatan kita selama ini salah kamu artikan. Aku ngga pernah berharap lebih dari hubungan ini," ujar Aurelie seraya menyeruput minumannya. Aku hanya tersenyum kecil.
"Kamu benar, aku memang salah mengartikan hubungan ini. Tapi perasaan cinta aku ngga pernah salah untuk kamu." kataku tegas. Aurelie menatapku lekat. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku merasa bersalah dengan kata-kataku tadi.
"Maaf, aku harus pergi." kata Aurelie seraya beranjak dari tempat duduknya.
Aku hanya diam. Mengejar dan mencegah kepergiannya tidak akan mengubah keputusannya untuk menolak cintaku. Aurelie tidak mencintaiku, itulah kenyataan yang harus aku terima. Walau hatiku perih, tapi hati ini tidak akan pernah berhenti mengharap cintanya. Biarlah waktu yang akan menyelesaikannya. Aku hanya bisa menunggu.
======
Sesampainya dirumah. Aurelie langsung masuk ke kamarnya. Ia menangis. Menumpahkan airmatanya diranjang.
"Gio, dia benar-benar tulus, Rel." kata seseorang dari belakang. Aurelie menoleh, ia pun langsung memeluk sahabatnya, Nasya.
"Aku ngga mau nyakitin Gio, Nas."
"Dengan membohongi perasaan itu, kamu udah nyakitin Gio, Rel."
"Ngga," kata Aurelie sambil menggeleng tegas.
"Penyakit jantung aku udah kronis. Dan ngga bisa disembuhin. Aku ngga mau ngeliat Gio sedih karena kehilangan aku. Cinta yang aku pendam cukup aku aja yang ngerasain. Luka yang ada biar aku yang ngerasain," ujar Aurelie seraya menghapus airmatanya. Nasya hanya diam, ia pun turut menangis, melihat penderitaan sahabatnya ini.
======
Banyak orang berlalu lalang sambil menenteng tas maupun menyeret koper-koper yang berukuran lumayan besar. Suasana bandara memang selalu ramai. Terlihat sepasang remaja sedang berdiri berhadapan. Mematung. Melihat-lihat orang yang berlalu lalang. Mereka larut dalam pikirannya masing.-masing..
Hari ini Stefan harus pergi ke Jepang untuk melanjutkan study-nya. Hal ini membuat Yuki terkejut. Karena sebelumnya sahabatnya itu tidak pernah membicarakan hal itu.
"Stef, kok mendadak sih," Yuki mulai berbicara terlebih dahulu..
"Kesempatan ngga datang dua kali, Ki." Yuki langsung diam. Stefan melirik jam dipergelangan tangannya.
"10 menit lagi," batin Stefan. Yuki menatap Stefan lekat.
"Sebelum pergi pun elo ngga ngomong apa-apa sama gue, Stef." lirih batin Yuki.
"Ki, inget ya. Don't lost contact with me." ujar Stefan tegas.
"Berapa lama sih," tanya Yuki.
"3 sampe 4 tahun. Gue boleh minta sesuatu ngga sebelum pergi," kata Stefan pelan.
Yuki menaikkan sebelah alisnya. Hal ini yang selalu membuat Stefan semakin menyukai sahabatnya itu. Ya, Stefan menyukai Yuki yang notabene adalah sahabatnya dari kecil. Banyak hal yang membuat Stefan menyukai Yuki. Dan Yuki, tidak tahu hal itu.
