°°Three°°

30 14 9
                                    

Selamat Membaca, Readers..

° ° ° °

Percaya atau tidak, masalah hidup adalah salah satu faktor yang dapat membuat manusia berpikir menjadi lebih dewasa. Zenatha sendiri yang mengalami hal itu. Sejak menerima kenyataan dari Anggara, yang Zenatha pikirkan hanyalah kebahagiaannya yang benar-benar nyata. Hatinya memang hancur, tetapi Zenatha tidak ingin terlarut dalam kesedihan itu.

Saat ini Zenatha berada di ruang makan untuk sarapan bersama kakak-kakaknya dan juga suami dari mereka. Menyadari keadaan yang sudah begitu canggung Zenatha memutuskan untuk tetap fokus kepada makanan yang berada di depannya tanpa berkata sedikit pun.

"Gimana kuliah kamu, Zen?" Tanya Milla untuk menepis keheningan.

Zenatha yang merasa ditanya pun langsung menjawab. "Gak gimana-gimana, semuanya aman.

Sejak kejadian itu, bukan hanya hubungannya bersama Anggara lah yang menjadi taruhan, namun hubungannya dengan kakak-kakak pun menjadi ikut renggang. Mereka berbeda pendapat, kedua kakaknya memutuskan untuk menerima kejadian yang ada, seolah-olah tidak ada kejadian apapun, namun Zenatha tidak bisa. Bagi Zenatha semuanya telah hancur di hari itu, tidak ada yang bisa merubah apapun. Karena pada kenyataannya kesalahan Anggara bukanlah kesalahan yang bisa diterima dan dimaklumi dengan begitu saja oleh Zenatha.

"Sampai kapan kamu mau kayak gini, Zen?" Retta memutuskan untuk bersuara "Kamu gak kasihan sama Papa? Sampai kapan kamu mau dendam kayak gini?"

Zenatha tersenyum jengkel setelah mendengar Kalimat 'kamu gak kasihan sama Papa?' Memang apa yang harus dikasihani dari orang itu?

"Zen gak pernah dendam sama Papa, Zen hanya gak bisa bersikap seperti kalian, lemah!" Balas Zenatha ketus, yang langsung melangkahkan kakinya keluar rumah.

Melihat tingkah laku Zenatha yang semakin hari semakin tidak bisa ditebak. mereka semua hanya bisa terdiam. Memang tidak mudah bagi Zenatha untuk menerima keadaan ini.

"Wajar, Zen belum cukup dewasa untuk bisa menerima semuanya, jiwa pemberontaknya memang sedang mateng-matengnya di usianya yang sekarang." Sinar berkata dengan wibawanya, yang di angguki oleh semuanya.

"Kita hanya perlu memakluminya, kita juga gak bisa ngejudge dia gitu aja." Sambung Andana yang lagi-lagi di setujui oleh mereka.

****

Saat ini, Zenatha sudah menundukkan bokongnya di salah satu bangku yang berada di tempat yang berada di luar area kampusnya. Zenatha sedang berusaha untuk menenangkan dirinya dengan memfokuskan pikirannya kepada hal-hal yang membuatnya merasa cukup tenang. Menulis. Sedikit banyaknya dia cukup tahu tentang dunia kepenulisan, karena dia sudah memasukkan dirinya ke dalam dunia itu cukup lama.

Azzam yang sudah memperhatikan Zenatha sejak tadi memutuskan untuk melangkahkan kakinya mendekat ke arah gadis itu berada.

"Gak ada tempat lain?" Tegur Zenatha yang sudah menyadari kedatangan Azzam yang sudah duduk tepat di sampingnya.

Azzam terdiam dan kemudian menulis sebuah kata-kata. "Gue mau di sini, gue mau sama lo."

"Gak risih lu ngalungin tuh benda di leher?" Tanya Zenatha heran.

"Mulai sekarang gue akan bawa buku kecil dan pulpen ini kemana-kemana, supaya gue bisa dengan mudah komunikasi sama lo." Lanjut Azzam dalam tulisannya.

Walaupun terlihat seperti orang tunarugu tapi itu tidak masalah bagi Azzam. Dirinya akan mengikuti permainan seorang Zenatha.

"Oke gue ralat, kesempatan itu hanya berlaku di kampus." Zenatha memberitahu. "Lagian, ngapain sih ngeribetin diri? Emang dengan lu gak ngomong sama gua itu buat lu rugi?!"

ZENATHA [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang