Selamat membaca, Readers..
° ° ° °
Seorang lelaki dengan perawakan yang cukup tinggi tengah berjalan seorang diri menuju sebuah pemakaman. Yang terletak tepat di samping sungai. Hawa di sana cukup menenangkan, karena memang tidak adanya kehidupan di sana.
Azzam melangkah menuju nisan yang dengan jelas tertulis sebuah nama Alana Quenna. Ya, kekasihnya. Setiba di depan pusara gadis yang biasa di sebut nya dengan sebutan 'Lana' itu pun, Azzam meletakkan setangkai bunga mawar putih di sana sambil tersenyum rela. Kenangan tentang dirinya bersama dengan Alana kini telah memenuhi ingatannya. Kebahagiaan itu masih nampak begitu nyata di benak Azzam.
"Hai Lana, kamu apa kabar? Kamu kenapa gak dateng lagi ke mimpi aku? Padahal aku kangen senyum dan tatapan kamu." Ungkap Azzamdengan lirih, Walaupun dia sangat tahu tidak akan pernah ada jawaban dari itu semua.
Setelah itu, Azzam kembali terdiam. Merindukan seseorang yang raganya sudah tidak ada itu sangatlah menyakitkan, menyesakkan, juga menyedihkan. Rasanya tidak ada yang bisa di lakukan untuk menebus rindu itu selain menangis. Bahkan dengan menangis saja itu tidak terlalu mengobati.
Azzam memutuskan untuk mengelus nisan milik Alana, berharap jika sang pemilik bisa merasakannya. Kini, sudah tidak ada lagi rambut panjang milik Alana yang bisa di belai lembut olehnya, tidak ada lagi tubuh hangat milik Alana yang bisa di peluknya dan tidak ada lagi lengan kecil milik Alana yang bisa untuk di genggamnya. Semua tentang Alana telah menjadi kenangan di hidup Azzam saat ini. Walaupun begitu, Azzam tidak akan pernah melupakan sosok Alana seumur hidupnya. Itulah janjinya.
"Kamu telah menjadi kenangan Lan, tentunya kenangan yang indah walaupun terasa begitu menyakitkan." Ungkap Azzam kembali masih dengan lirihan.
Setelah itu, Azzam memutuskan untuk meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Alana tentunya dengan langkah yang terasa begitu berat. Alana dan Azzam memang telah di pisahkan oleh alam. Namun, Azzam sangat yakin di sana Alana juga merasakan apa yang di rasakan olehnya di sini. Satu harapannya, Kebahagiaan Alana di manapun diri dia berada.
"Aku pamit Lan," Pamit Azzam. "Jangan lupa dateng ke mimpi, ya. Bawa senyuman itu juga tatap aku."
Setelah tiba di pinggir jalan, Azzam melihat sosok Zenatha yang sedang mengobrol dengan seorang lelaki paruh baya tepat di depan pandangan matanya. Lelaki itu nampak sudah tidak asing lagi di penglihatan Azzam dan benar saja dia adalah Anggara, ayah dari Zenatha. Tanpa tergesa-gesa Azzam memutuskan untuk berdiam diri disana dengan sudah memperhatikan kedua insan di depan matanya yang dimana hubungan mereka adalah ayah dan anak.
"Papa hanya minta kamu untuk pulang!" Perintah Anggara dengan memaksa.
"Pulang? Kemana?" Balas Zenatha lirih. "Ke rumah itu? Percuma Pah, mau Zen pulang atau nggak itu gak akan ngerubah keadaan yang udah hancur karena ulah Papa!"
Anggara terdiam. Dadanya terasa sesak mendengar kalimat itu yang juga di barengi dengan lirihan Zenatha, darah dagingnya sendiri.
"Papa gak ada di sana, Mama pun gak ada, untuk siapa Zen pulang? Untuk apa Zen pulang? Untuk apa, Pah? Jawab Zen! " Lanjut Zenatha yang kini sudah mengeluarkan cukup banyak air mata.
Anggara tetap terdiam, perkataan Zenatha semakin menusuk hatinya. Bahkan lebih dalam.
"Terus terang, Zen gak bisa seperti mereka yang bisa untuk berpura-pura kalau semuanya itu masih baik-baik aja, Zen gak bisa menerima dan memaklumi begitu aja semua kesalahan Papa dan Zen gak akan pernah bisa menerima istri baru Papa juga Anak bungsu Papa itu." Ucap Zenatha lagi, namun kali ini di lengkapi dengan penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENATHA [ On Going ]
Fiksi Remaja[ DON'T FORGET TO FOLLOW ME ] [ UPDATE TIDAK TENTU ] NOTE: BUDAYAKAN UNTUK MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN 💜 °°° Zenatha Kanaya Azathna, seorang gadis yang hidupnya selalu terlihat begitu tenang. Dia selalu di pandang buruk, karena perilakunya yang tid...