Before 2

80 9 3
                                    

"Aku tidak marah, tidak pula menuntut apapun pada Tuhan. Jika dengan ini kamu sungguh berbahagia, mengapa aku harus tidak rela? Aku mampu melepasmu, aku siap mengantarmu pada sosoknya, takdirmu yang sesungguhnya.
Asal kamu tersenyum, bahagia."
-Jeno A.Z-






👣
•••

"Diminum tehnya, Nak Jeno. Ini Tante makasih banget lho, kamu udah nganterin bungsunya Tante padahal lagi ujan-ujan begini."

Jeno mengangguk sopan ketika Mama menemaninya di ruang tamu, menunggu Papa. Ya, Jeno sudah bercerita pasal itu kepada Mama ketika kalian baru saja sampai. Ia juga sudah memperkenalkan diri sebelumnya.

Kamu sedang membersihkan badan di kamar, sedangkan Jeno duduk di ruang tamu, bersama Mama yang sebelumnya sudah membuatkan Jeno teh hangat. Teman yang tepat di saat hujan sedang turun seperti ini.

"Atau kamu mau mandi aja sekalian? (Y/n) punya Abang yang bajunya bisa kamu pakai. Itu seragammu basah lho, nanti kamu bisa demam." Mama terlihat sangat perhatian pada Jeno. Padahal ini adalah kali pertamanya bertemu Jeno.

Jeno menggeleng sopan dengan senyum, "Ngga usah, Tante. Cuma basah sedikit ini, dibuatin teh hangat aja Jeno udah makasih banget."

Mama menatapnya lembut dan penuh damba, "Coba aja sulungnya Tante kalem kaya kamu, udah pasti merdeka hidup Tante."

Jeno menggaruk tengkuknya canggung, merasa tidak nyaman saat Mama mulai membanding-bandingkannya dengan putranya sendiri. Bukannya apa, Jeno hanya merasa ia tidak sebegitu baiknya hingga membuat Mama terkesan seperti itu.

"Saya juga kadang suka ribut kok, Tante. Saya ngga seperti yang Tante pikirkan."

Mamamu mengibaskan tangan, "Ah udah, jangan merendah. Itu diminum tehnya, Tante mau lanjutin goreng pisang di dapur. Tunggu sebentar, abis ini (Y/n) bakal turun kok."

"Iya, Tante. Ah, saya bisa bantu goreng pisang, kalau Tante nggak keberatan." Jeno menawarkan diri.

Mama Yoona memasang wajah penuh damba, dan menggeleng setelahnya, "Kamu tamu, Jeno. Tante ga pernah biarin tamu Tante ikut riweh di dapur. Kamu di sini aja ya?"

"Oh, tapi saya nggak keberatan buat bantu kok, Tante."

"Aduh, bantunya jadi mantu Tante aja deh nanti, Nak Jeno. Ya? Diem di sini aja ya? Tante tinggal sebentar."

Setelah kepergian Mama, Jeno tertegun, matanya mengerjap polos, tangannya bergerak menyentuh dada, debaran-debaran brutal terasa dari sana.

Ia tersenyum konyol sambil mengusap tengkuknya, "Mantu?" Lirihnya dengan perasaan bahagia tak terbendung dalam hati.

Ia belum berusaha sejauh itu, ia bahkan baru berusaha untuk mendapatkan hatimu, tapi sudah disambut baik oleh Mama. Bagaimana Jeno tidak semakin bersemangat?

°°°

Suasana ruang tamu saat ini sedikit tegang. Pasalnya bukan hanya Papa yang barusaja pulang dari kantor, tetapi Abang juga baru pulang dari kampus sehingga setelah sama-sama membersihkan diri sebelumnya, ia menyusul Papa untuk duduk di sofa. Menatap tajam oknum pengantar dirimu pulang.

Jeno.

Jeno tidak terlihat gugup, ia bahkan menampilkan wajah sumringah ketika dua laki-laki berharga dari keluargamu pulang.

Ya, saat ini Jeno, kamu, Mama, Papa, serta Abang sudah duduk bersama di sofa ruang tamu.

"Biasa aja matanya, adek colok nih." Tegurmu jengah saat Papa dan Abang mulai berlagak sok keren dengan wajah datarnya. Berusaha memberikan kesan menakutkan pada Jeno yang sepertinya gagal karena Jeno tidak terlihat gugup atau bahkan ketakutan. Ia bahkan terlihat santai.

Before MLHS | Dear JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang