Beberapa hari setelah Mamaku pergi dari rumah, akhirnya ia kembali. Namun, kembalinya dia ke rumah pun tak membawa kedamaian. Justru, pertengkaran selalu terjadi tiap hari dan mencapai puncaknya di malam ini.
"Maksud lo apa nih? Lo udah berani sekarang chat-chatan sama orang lain? Siapa dia?!"
"Ya lo juga pernah kan dulu, lo malah selingkuh kan sama temen sekantor lo. Gausah ngelak! Gausah sok suci lo! Selama ini lo juga gak bisa ngebahagiain gue sama Deva!"
"Brengsek lo!"
Plak. Suara tamparan keras itu sangat mengagetkan dan membuatku terbangun. Seketika badanku bergetar, air mataku sudah tak terbendung lagi, aku langsung lari, bukan menuju ke sumber keributan tersebut, karena aku sudah tahu dari mana datangnya suara itu, melainkan menuju ke sudut kamar. Di sana aku duduk meringkuk. Air mataku mengalir deras seperti hujan di luar rumah. Tak kuasa aku menahannya. Sakit hatiku, sangat sakit. Rasanya seperti ditusuk dengan belati yang begitu tajam. Tanganku langsung meremas kepalaku sembari tubuhku terus bergetar, aku membenturkan kepalaku ke tembok.
Sakitnya benturan kepalaku ke tembok sama sekali tak terasa, aku seperti kehilangan kendali. Aku membatin, "Kenapa sih gue punya keluarga begini amat! Ga kuat gue!!!" Mungkin sekitar 5 kali aku membenturkan kepalaku ke tembok. Lama-lama pandanganku mulai kabur, seperti berkunang-kunang, seketika pandanganku menghitam.
Pagi harinya aku terbangun. Ternyata semalam aku pingsan. Ketika ku bangun, di kepalaku ada beberapa plester beserta kapas yang digunakan untuk menutupi luka. Di meja lampu tidurku, aku melihat ada sepucuk surat.
Deva...
Kamu hari ini istirahat aja ya, gausah ke mana-mana dulu. Semalam Mama nemu kamu pingsan di kamar, Mama menjerit. Maafin Mama ya, Deva. Mama hari ini pulang cepat kok. Cepet pulih ya anak Mama tersayangMama
Seketika aku terdiam. Baru kali ini, Mamaku menulis dengan penuh perasaan. Selama hidupku, Mama hampir tak pernah meminta maaf padaku, karena aku hampir selalu diomeli, bahkan seringkali kekerasan fisik dilakukan oleh Mamaku. Entah apa yang ada di pikirannya. Namun di sisi lain, aku juga merasa muak dengan keadaan rumah, muak dengan keributan yang dilakukan oleh Mama Papaku yang memang sering berlangsung dari semenjak aku kecil. Jika orang lain mungkin memiliki kenangan indah bersama orangtuanya, lain halnya denganku yang hampir tidak pernah merasakan kehangatan keluarga, meskipun keluargaku utuh. Aku pun tidak dekat dengan orangtuaku, mungkin karena mereka sangat otoriter dan menuntutku untuk menjadi orang sukses tanpa memikirkan aspek kasih sayang yang harus aku dapatkan.
Akhirnya, sejenak aku berpikir. "Apa lebih baik aku pergi dari rumah?" batinku. "Duh, tapi mau ke mana?" lanjutku lagi dalam pikiranku. Di sini, aku memang tidak memiliki saudara, karena Mama dan Papaku sama-sama pendatang di Jakarta. Akhirnya aku terpikirkan dengan sebuah pilihan. Rumah Ragil. Ya, rumah Ragil di mana ia tinggal hanya sendiri. Tapi, apakah itu akan merepotkannya? Entahlah, tapi aku sudah tidak betah berada di rumah yang layaknya seperti sebuah penjara ini.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ragil. Aku tak membawa banyak barang, hanya beberapa helai pakaian, charger handphone, dan dompetku. Aku pun tidak membawa baju seragam sekolah karena aku sudah tidak berkeinginan untuk masuk sekolah. Setelah aku selesai merapikan barang-barangku, aku mengecek keadaan. Ya, tidak ada orang di rumah jadi aku cukup leluasa untuk pergi. Ku nyalakan motorku, dan aku pergi ke Situ Pedongkelan dulu, dengan plester yang masih ada di kepalaku.
Waktu menunjukkan pukul 11.55 ketika aku tiba di Situ Pedongkelan. Aku langsung bertemu dengan Bi Saroh.
"Ehhh, Deva. Itu pala lu kenapa kok dipakein begituan? Abis berantem lu ya?" tanya Bi Saroh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Pedongkelan [COMPLETED]
Teen FictionDeva, seorang anak SMA yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, berusaha mencari ketenangan di luar rumahnya. Takdir mempertemukan ia dengan Ragil, seorang anak seusia Deva yang membantu bibinya berjualan di tepi Situ Pedongkelan. Seiring be...