Tak terasa akhirnya ku lulus dari SMA. Masa-masa yang sangat tak terlupakan bagiku. Setelah selesai SMA, aku berkeinginan untuk melanjutkan kuliahku ke negerinya Napoleon Bonaparte. Ya, aku memang tertarik untuk berkuliah di Prancis, karena aku memang menyukai Eropa dari kecil, khususnya Prancis yang memang letaknya di jantung Eropa. Kebetulan, Papa dan Mama memang sudah menyiapkan tabungan untukku agar aku bisa berkuliah di luar negeri. Ketika aku menyampaikan keinginanku untuk berkuliah di Prancis, Papa dan Mama pun mengiyakan.
Selama beberapa bulan, aku mengikuti semacam kursus persiapan untuk berkuliah di sana. Akupun mengenal beberapa teman baru, sehingga teman-temanku pun menjadi banyak. Selama kurang lebih 6 bulan, aku dan teman-teman mempersiapkan diri untuk berangkat ke sana dan sebelum berangkat, kami harus melalui sebuah tes bahasa agar kemampuan berbahasa kami diakui oleh negara yang kami tuju.
Bulan Desember, hasil ujian bahasaku keluar. Alhamdulillah, aku mendapatkan nilai yang tinggi dan lulus di level yang cukup untuk melanjutkan studiku di Prancis. Aku pun membuat persiapan yang cukup banyak, karena aku akan meninggalkan Indonesia di tahun depan, bulan Januari.
Bulan Januari pun akhirnya tiba tanpa terasa. Di awal tahun, aku sempat berkumpul dengan teman-teman SMA-ku, untuk silaturahmi sekaligus berpamitan.
"Yah, bakal susah nih ketemu sama lo," kata Jaki.
"Ya kan kita bisa video call-an. Nanti paling kalo liburan gue juga pulang ke Indonesia," jawabku untuk menepis kekhawatiran Jaki.
"Haha emang temen gue dah, jangan lupain gue yak," kata Jaki sambil memelukku.
"Enggak lah, Jak. Insya Allah," jawabku.
"Tar fotoin Menara Eiffel buat gue yak," kata Rizal.
"Iya, Zal. Tenang aja," kataku.
"Di deket rumah lo juga ada kan?" tanya Rizqi.
"Ya itu mah SUTET woy!" jawab Rizal ngegas.
"Haha bisa aja lo Qi," kataku sambil menepuk bahu Rizqi.
"Pokoknya lo mesti jaga kesehatan ya, kan katanya dingin di sana, jangan lupa bawa baju hangat," kata Rizqi.
"Iya makasih ya udah diingetin, Qi," kataku.
"Iya soalnya dulu gue waktu ke Eropa lupa bawa baju hangat, jadi beli lagi deh di sana," kata Rizqi.
"Halah lu pamer nih diem-diem," kata Rizal.
"Apaan sih orang gue ngasih tahu juga!" jawab Rizqi ngegas.
"Heett sehhh ini lu berdua ngapain pada ribut dah!" kata Jaki melerai mereka.
"Tau nih, orang mah haru-haruan gitu kan, pelepasan gitu buat gue, hahaha," kataku.
Mungkin ini salah satu yang aku akan rindukan di Prancis, candaan teman-temanku ini yang memang nyablak.
*****
Tiga hari sebelum ku berangkat ke Paris, aku mengunjungi Pedongkelan. Aku disambut oleh Ita dan Bi Saroh, bahkan aku diperlakukan bak seorang tuan muda. Hahaha.
"Kak Deva mau minum apa? Biar aku buatin," kata Ita.
"Ah, serius? Kamu udah bisa bikin kopi?" tanyaku.
"Ita kecil-kecil gini mah udah pinter dong bikin kopi. Aku bikinin kesukaan Kak Deva dulu ya," kata Ita.
"Makasih Ita cantik," kataku sambil mengusap kepalanya.
Aku pun duduk di tepi Situ Pedongkelan. Senja itu, angin berembus dengan sepoi-sepoi, membuat suasana menjadi syahdu.
"Kak, ini es kopinya," kata Ita.
"Terima kasih ya, Ita," jawabku. Aku menyeruput sedikit. "Hmm enak banget, haha kayanya nanti Kak Deva kangen nih sama es kopinya Ita," kataku.
"Makasih, Kak. Aku jadi malu," pipi Ita pun memerah. "Yaudah, Kak, aku bantuin Ibu dulu ya," kata Ita minta izin padaku.
"Iya, Ita, silakan," aku mempersilakan Ita untuk membantu Bi Saroh.
Akhirnya, aku duduk sendiri di tepi Situ Pedongkelan, menikmati senja yang indah berteman angin sepoi-sepoi, sembari menyeruput es kopi yang enak, yang kemudian membuatku teringat semua kenanganku bersama Ragil, mulai dari pertemuan pertamaku, hingga akhirnya aku dihadapkan pada kenyataan bahwa Ragil sudah pergi jauh dari sini, dan sebentar lagi akupun juga akan melakukan hal yang sama seperti Ragil. Di tepian situ ini, aku merindukanmu, sahabat. Semoga kelak, kita bisa bertemu lagi, entah kapan dan di mana...
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Pedongkelan [COMPLETED]
Roman pour AdolescentsDeva, seorang anak SMA yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, berusaha mencari ketenangan di luar rumahnya. Takdir mempertemukan ia dengan Ragil, seorang anak seusia Deva yang membantu bibinya berjualan di tepi Situ Pedongkelan. Seiring be...