Hari ini, pelajaran di sekolah cukup membuatku lelah. Pagi hari diawali dengan matematika, dilanjut dengan ekonomi, sejarah, sosiologi, dan ditutup dengan biologi lintas minat. Hmm, ke mana ya aku harus pergi sepulang sekolah?
"Dev, mau ikut gue nggak?" tanya Jaki.
"Mau ke mana lu?" balasku.
"Mau beli Thai tea nih di Arundina. Kalo lu mau, anterin gue sekalian dah, entar gue bayarin. Tapi kalo nggak mau, gue pesen ojek online aja," kata Jaki.
"Hmm, nggak deh Jak, gue lagi gak pengen itu," kataku.
"Yaudah, gue sendiri ya ke sananya. Ati-ati lu ya," kata Jaki sembari pergi.
Seharian ini, sebetulnya memang aku sedang tidak mood. Beberapa hari ini mamaku sedang bertengkar hebat dengan papaku, sampai-sampai mama keluar dari rumah semalam. Jujur, aku menangis melihat itu, tapi aku sudah tak tahu apa yang harus kulakukan karena kejadian ini sudah sering terjadi. Jika bukan mamaku, ya papaku yang pergi dari rumah. Pada malam itu, papaku hanya berkata padaku, "Dev, kalo lo nanti nyari istri, jangan yang kayak mama lo ya."
Perasaanku sedang kacau. Sedih sebetulnya melihat orangtuaku seperti itu. Kadang, aku lebih mengharapkan perceraian saja buat orangtuaku. Toh, bersatu juga tidak rukun, selalu ribut. Di saat seperti itu, kadang muncul keinginanku untuk membeli rokok, meskipun sebetulnya aku tidak suka merokok. Entah kenapa, tapi yang melintas di kepalaku, "Udah nyebat aja deh, biar santuy (santai)."
Aku membeli rokok sebungkus, kebetulan tadi aku diberi uang jajan yang cukup banyak oleh papaku. Tanpa pikir panjang, aku langsung tancap gas ke tempat di mana beberapa hari yang lalu aku kunjungi, yaitu Situ Pedongkelan.
Kali ini dengan wajahku yang masam, aku tidak membeli apapun, tetapi langsung duduk di tepi sungai. Secara spontan, aku berteriak keras di sana sampai-sampai orang-orang di sekitar sana melihat ke arahku. Tetapi sama sekali aku tak peduli. Tak terasa air mata ini meleleh, aku tak kuat menahannya. Beberapa saat kemudian, emosiku mereda. Akupun membuka bungkus rokok dan mengambil sebatang rokok untuk ku nyalakan. Bodohnya, aku tidak membawa korek. Dalam hatiku, "Aduh amatiran banget sih gua."
Tak lama kemudian, ada seseorang yang menghampiriku.
"Mau korek ga, Bro?" katanya sembari menawarkan korek.
"Oh iya, makasih ya," aku langsung mengambil korek tersebut dan mencoba menyalakan rokok itu.
"Kaku banget anjir, baru pertama ngerokok lu ya?" tanya dia. "Sini gue ajarin caranya," lanjut dia sambil mempraktikkan caranya menyalakan rokok.
"Haha, makasih ya, Bro. By the way, lo siapa? Kok tiba-tiba nyamperin gue?" tanyaku penasaran.
"Ya lo tadi teriak-teriak gitu, gimana gak jadi pusat perhatian? Ya akhirnya itu yang bikin gue dateng ke sini," jawabnya. "Oh ya, lo bisa panggil gue Ragil," lanjutnya sambil memperkenalkan diri.
"Oh iya, Ragil. Gue Deva," aku memperkenalkan diri sambil bersalaman dengannya.
Tiba-tiba, ada suara ibu-ibu yang tidak asing memanggil Ragil.
"Ragil, sini, bantuin Bibi antar kopi," kata si ibu itu. Ragil pun menghampiri suara itu dan aku menoleh untuk melihat sumber suara itu. Ternyata, itu adalah suara si ibu yang beberapa hari yang lalu melayaniku dengan ketus. "Lah, jadi si Ragil keponakan si Ibu ini? Anjirrrrrr."
Setelah selesai melayani pelanggan, Ragil kembali ke tempatku duduk. Akupun bertanya kepadanya.
"Ragil, itu bibi lo?" tanyaku.
"Iya, Dev. Dia bibi gue, Bi Saroh. Bukan bibi kandung sih. Lebih tepatnya, dia dulu kerja di rumah gue, bantu-bantu nyokap. Tapi, sejak nyokap gue kerja ke luar negeri, gue sama adik gue tinggal berdua doang di Depok. Terus, nyokap gue minta bibi buat jagain gue. Sebagai balas jasa, gue suka bantu bibi di sini, malah kadang kalo bibi lagi kurang sehat, gue yang suka jualan," jelas Ragil.
"Wah keren sih lu. Oh iya, tapi emang bibi lu orangnya jutek ya?" tanyaku penasaran.
"Hahaha, nggak, dia baik kok. Tapi, cuma sama gue. HAHAHAHAHA," katanya sambil tertawa. "Mungkin karena gue anak mantan bosnya, kali," lanjut dia.
"Ya mungkin sih, hahaha," jawabku.
Selanjutnya kami berdua banyak mengobrol sambil merokok, kebanyakan sih tentang jokes lucu, sampai-sampai aku sendiri lupa dengan rasa sedih yang tadi kubawa. Tak terasa waktu Magrib pun tiba dan azan berkumandang. Ragil pun segera membantu bibinya untuk merapikan dagangan, sedangkan aku bersiap-siap mau pulang. Namun, Ragil menahanku.
"Mau ke mana, Dev? Salat dulu lah," kata Ragil.
"Haha, belum mandi wajib gue," jawabku sekenanya.
"Ah bohong lu. Udah ikut gue salat dulu yuk, biar sedih lu makin luntur," balas Ragil meyakinkanku. Akhirnya pun aku ikut salat Magrib dengan Ragil. Entah kenapa, setelah salat, aku merasakan kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya, seperti ada yang mengisi dalam relung jiwaku ini.
Setelah salat, aku membantu Ragil dan Bi Saroh serta putri kecilnya untuk merapikan dagangannya. Kemudian, aku berpamitan kepada mereka.
"Bi, Ragil, Dik, aku pulang dulu ya," pamitku.
"Eh mau pulang lu, Tong. Ya udah ati-ati ye," kata Bi Saroh.
"Yaudah ati-ati lu ya, Dev," kata Ragil. "Kakak Deva ati-ati ya," sambung si adik Ita (anaknya Bi Saroh).
Aku pun pulang ke rumah dengan hati yang senang, padahal pada mulanya, aku datang ke sini dengan membawa kesedihan. Senang sekali rasanya bisa berteman dengan Ragil.
![](https://img.wattpad.com/cover/244636520-288-k14741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Pedongkelan [COMPLETED]
Dla nastolatkówDeva, seorang anak SMA yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, berusaha mencari ketenangan di luar rumahnya. Takdir mempertemukan ia dengan Ragil, seorang anak seusia Deva yang membantu bibinya berjualan di tepi Situ Pedongkelan. Seiring be...