Selama hampir dua minggu ini, aku sudah kembali lagi bersekolah. Bertemu dengan teman-temanku, rasanya begitu menyenangkan. Sebelumnya, aku pun telah meminta maaf kepada teman-temanku atas kesalahanku, terutama kepada Jaki. Untungnya, mereka semua memaafkanku dan mau kembali berteman denganku. Selama dua minggu itu pula, aku berusaha untuk menebus semua kesalahanku di sekolah; aku mengikuti ulangan harian, ujian tengah semester, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang mangkrak. Untungnya, teman-temanku baik hati dan mau mengajariku pelajaran yang kulewatkan. Sungguh, aku beruntung memiiki teman-teman kelas seperti mereka.
Dua minggu itu, aku sibuk dengan urusan di sekolahku. Papa juga sibuk di kantornya, sedangkan Mama sibuk dengan bisnis barunya, yaitu berjualan ayam bakar. Kami pun tidak sempat untuk pergi menemui Ragil. Toh, Ragil pun belum membalas pesan-pesan dariku dan memang nomornya tidak bisa dihubungi. Akan tetapi, akhir pekan ini, aku, Papa, dan Mama berencana untuk pergi ke Pedongkelan, barangkali kami bisa menemui Bi Saroh untuk menanyakan kabar Ragil.
"Dev, temen lo yang waktu itu masih suka jualan di Pedongkelan?" tanya Jaki padaku.
"Wah gue juga gatau nih, gue sekarang-sekarang lagi agak sibuk ngelunasin utang-utang gue di sekolah. Tapi, gue besok Sabtu sih rencananya mau ke sana, Jak. Kenapa emang?" tanyaku.
"Nggak apa-apa sih, gue pengen tau aja, kayanya dia anak baik ya, gue perhatiin soalnya lu rada berubah nih semenjak dulu bergaul sama dia," lanjut Jaki.
"Bedanya gimana, Jak?" tanyaku lagi menginterogasi.
"Ya lo sekarang jadi rajin solat, ampe yang sunah juga lu kerjain. Terus sering baca Quran juga, keren sih menurut gue perubahannya, salut deh pokoknya," jawab Jaki.
"Ya, Alhamdulillah, akhirnya gue dapet hidayah," kataku.
"Ngomong-ngomong, tugas lu yang belum selesai apalagi, Dev?" tanya Jaki.
"Ada nih, bahasa Inggris, gue masih kurang ngerti sama passive voice. Bisa tolong jelasin gak?" pintaku.
"Wah salah orang lu nanya ke gue. Noh tanya Amar yang lahirnya di London, ye kan?" kata Jaki sambil menoleh ke arah Amar, salah seorang temanku.
"Kagak anjir apaan di London, kagak, gue lahir mah di Perancis," kata Amar.
"Seriusan lo?" tanyaku agak kaget.
"Iya, perapatan Ciamis hehehe," jawab Amar meledek.
"Wah kampay juga lu!" kata Jaki sedikit emosi sambil menepuk pundak Amar.
Setelah itu kami tertawa bersama.
*****
Hari Sabtu pun tiba. Aku bersama Papa dan Mama bersiap berangkat menuju Pedongkelan. Mama sudah membeli bingkisan, satu untuk Bi Saroh dan satu lagi untuk Ragil. Dua bingkisan itu sebagai tanda permohonan maaf keluarga kami kepada Bi Saroh dan Ragil. Akhirnya, kami pun berangkat menuju ke Pedongkelan pagi itu. Butuh waktu cukup lama untuk kami tiba di Pedongkelan. Jalanan agak macet, karena kami berangkat agak siang, mengingat warung Bi Saroh buka sekitar pukul 11.00. Papa memarkir mobil agak jauh dari Pedongkelan, karena di sekitar situ cukup sempit untuk memarkirkan mobil. Kami pun turun dan kemudian berjalan menuju ke warung Bi Saroh. Tak sabar rasanya untuk kembali bertemu Ragil dan Bi Saroh sekeluarga.
Setibanya di sana, aku tidak melihat Ragil, hanya Bi Saroh, Ita, dan suaminya.
"Assalamu'alaikum, Bi Saroh," sapaku sambil berlari menuju ke arah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Pedongkelan [COMPLETED]
Teen FictionDeva, seorang anak SMA yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, berusaha mencari ketenangan di luar rumahnya. Takdir mempertemukan ia dengan Ragil, seorang anak seusia Deva yang membantu bibinya berjualan di tepi Situ Pedongkelan. Seiring be...