1. Wasiat

1K 117 12
                                    

Flash back

Delapan tahun yang lalu. Saat seragam gakuran hitam masih ia kenakan. Dengan simbol angka dua dalam romawi menghiasi kerah baju hitam itu. SMA kelas dua, Sasuke muda yang tengah menikmati istirahat pergantian pelajaran dengan mengobrol dengan Fuji, sahabatnya. Fuji yang meripakan sesama anggota pemain basket sepertinyna, dan karena mereka juga sekelas, itulah yang menyebabkan keakraban mereka terjaga.

"Kau tahu, teriakan para gadis yang mendukungmu itu sungguh luarbiasa. Aku bahkan mengusulkan dana ke pelatih untuk memberikan semua anggota tim penyumbat telinga saat di lapangan," kata Fuji, menggeleng-gelengkan kepalanya, heran.

"Kau mengada-ngada Fuji. Itu hanya teriakan Tatsuki yang menyorakimu," recok Sasuke yang menyebut nama salah satu penggemar Fuji.

Fuji mememiliki perawakan yang hampir sama dengan Sasuke. Namun ia memiliki garis hidung yang lebih tegas. Walau secara ketampanan Sasuke masih tidak terkalahkan.

Sasuke muda memilki wajah yang hampir sama dengan masa dua puluhan tahunannya. Menandakan bahwa dia adalah orang yang awet muda. Dengan alis tebal dan rambut hitam berdurinya. Wajahnya yang oval dan hidung paruh elang itu, mampu memikat semua orang yang menatapnya barang sekejap. Walau dibanding dengan usia dua puluh limanya kini, kulit Sasuke lebih sedikit ten karena harus latihan basket di lapanan setiap hari. Namun malah menciptakan sensasi macho pada pria incaran satu sekolah itu.

"Eh, ngomong-ngomong soal penggemar." Fuji menoleh ke belakang pojok kanan kelas sebentar, lalu berbisik ke teinga Sasuke. " Naruto tengah memperhtikanmu lagi."

Setelah mendegar nama itu, mood Sasuke tiba-tiba buruk.

"Sudahlah. Aku tidak mau urusan dengan psikopat itu," tukas Sasuke tidak mau memperpanjang topik.

"Dia benar-benar menyukaimu. Kau tahu, aku melihatnya membuntutimu saat akan ke mamar mandi. Kalau saja aku tidak mencegahnya."

"Apa?!" Sasuke semakin merasa jijik dengan wanita yang duduk di kursi paling pojok di kelas itu.

"Iya! Dia benar-benar mengendap-endap secara mencurigakan, itu akan sangat berbahaya kalau aku tidak ada di sana dan mengusirnya," cerita Fuji. Menggeleng-gelengkan kepalanya, heran.

"Wanita menjijikan." Sasuke mengepalkan tangannya marah. Ia merasa habis kesabaran, dan harus memperingatkan gadis itu agar tidak semakin kurang ajar.

Namun Fuji menghentikannya dengan cara menepuk-nepuk punggung Sasuke agar temanya itu lebih tenang.

"Sudahlah Sasuke. Aku sudah memberikan pelajaran padanya. Dia tidak akan berani macam-macam lagi."

Saat Sasuke menoleh, benar saja, Naruto sedang mencuri padang ke arahnya. Lalu segera berpaling saat pandangan mereka bertemu. Sasuke bergidik ngeri dibuatnya. Bagaimana wanita aneh itu tiba-tiba jatuh cinta padanya.

Si gadis masih tetap dengan kacamata yang sama. Rambut pirangnya pun masih tetap terkuncir kuda. Tidak ada perubahan mencolok dari gayanya. Selain tubuhnya yang sedikit lebih kurus di banding usia duapuluhannya.

Ia ingat saat kelas satu, pertama kali mereka bertemu dalam kelas. Gadis tiba-tiba mendekat, menuju bangkunya sampai mereka berhadap-hadapan. Awalnya Sasuke mengira gadis itu ingin mengajaknya kenalan seperti gadis lain. Namun yang ia lakukan hanya berdiri diam dan menatap Sasuke dalam pandangan kerinduan. Kemudian berlari pergi tanpa mengatakan apa pun.

Lain waktu Sasuke melihatnya bersorak mendukungnya di samping lapangan, atau memandanginya dengan antusias saat ia presentasi di depan kelas.

Tentu banyak gadis yang melakukan hal itu untuknya. Namun Sasuke merasa gadis ini berbeda. Entah kenapa, sering kali perhatiannya teralih pada gadis ini secara tiba-tiba, dan apa yang ia lihat kala itu, selalu saja pandangan memuja si gadis saat melihatnya. Pastinya hal itu sama sekali tidak menyenangkan baginya. Itu sangat mengganggu.

Kembali ke masa kini. 

Sasuke yang tengah duduk di atas kasurnya, mengambil jaketnya dan bergerak keluar dari kamar. Melewati ruang tengah, ia melihat sang ayah yang tengah berdiri di depan jendela kaca yang menghadap kebun.

Ayaah Sasuke memiliki fitur yang sama dengan anaknya. Selain garis-garis tuanya, laki-laki itu pada masa jayanya juga diberkati paras yang rupawan. Maka itu, dua anak laki-lakinya pun mewarisi ketampanan mereka dari sang ayah.

Sasuke terpatung di sana. Ia ingin bicara dengan ayahnya tentang kegelisahannya kini.

"Ayah," panggil Sasuke.

"Hm?" Sang Ayah menoleh dan melihat anaknya yang sepertinya telah bersiap-siap pergi lagi.

Melihat wajah lelah ayahnya, ia merasa tidak sanggup.

"Tidak apa." Sasuke hendak beranjak pergi sebelum sang Ayah menagapi lagi.

"Sudah bertemu Naruto?" tanyanya.

"Sudah," jawab Sasuke singkat.

"Bagimana? Dia cantik bukan?" Ayahnya tersenyum sambil berjalan menuju kursi untuk duduk di depan perapian.

"Psiko," bisik Sasuke, hingga sang Ayah kesulitan mendengarnya.

"Hah?" tanya sang Ayah, ingin Sasuke mengulangi kata-katanya.

"Bagus." Sasuke enggan terlalu panjang menaggapi. Melambangkan Naruto dengan satu kata sifat untuk sebuah benda.

Sang Ayah mengembuskan napas berat, menaggapi sikap acuh yang Sasuke tunjukan saat mereka tengah berdiskusi mengenai Naruto, calon istri Sasuke.

"Ingat Sasuke. Pernikahan ini adalah keinginan mendiang Ibumu."

Tentu Sasuke ingat. Itu sungguh mengejutkan baginya. Tiba-tiba ibunya menyebut nama orang asing, dan menyuruhnya untuk menikah dengan orang itu, yang ternyata tidak benar-benar asing.

"Kenapa Ayah?" Sasuke merasa frustrasi dibuatnya.

"Karena itu sebuah janji."

Setelah kematian ibu, ayah menceritakan mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Tentang oarng tua Sasuke dan Naruto yang pernah berjanji untuk menikahkan anak-anak mereka saat dewasa.

"Itu hanya janji masa lalu, Ayah. Kenapa menjadi rumit seperti ini." Sasuke berusaha membujuk Ayahnya untuk berpihak padanya dan membatalkan janji mereka.

"Kami telah berjanji untuk menikahkan kalian. Juga ini adalah satu-satunya pesan yang ibumu tinggalkan untukmu sebelum dia pergi. Kau harus menepatinya Sasuke. Kau telah berjanji."

"Kau sudah tahu. Aku terpaksa menurutinya," kata Sasuke, menyisir rambut dengan jari-jarinya secara kasar. Lebih tepatnya menutupi rasa jengkelnya pada situasi yang ia alami kini.

Setelah perkataan Sasuke tadi, tidak ada tanggapan dari sang Ayah. Yang dianggap Sasuke sebagai pernyataan keputusasaan. Sang Ayah tidak dapat memberikan jalan keluar apa-apa pada masalahnya. Intinya, ia harus dan wajib memenuhi janji pada Ibunya.

Karena merasa tidak ada solusi, akhirnya Sasuke melanjutkan rencana awalnya.

"Sasuke. Kau mau ke mana lagi?" tanya Sang Ayah yang mendapati anaknya berjalan ke arah pintu.

"Mencari udara segar," jawab Sasuke, membuka pintu, dan langsung menghilang di baliknya.

Sasuke sudah sampai di garasi mobil, saat ia teringat telah melupakan kunci mobilnya yang masih ada di tas yang satunya lagi. Ia pun masuk lagi lewat pintu dalam. Mendapati sang ayah masih dalam posisi yang sama seraya bermonolog.

"Ini bukan janji kami Sasuke. Ini janjimu sendiri."

Sasuke hanya terdiam sesaat untuk mencerna apa yang sedang dikatakan sang Ayah. Namun karena ia tidak mengerti, ia hanya meneruskan perjalanannya menuju kamar untuk mengambil kunci mobilnya. Ia segera pergi dengan mobilnya untuk melupakan semua beban, membuang semua pikiran-pikiran yang membuatnya frustrasi, dan bersenang-senang bersama teman-temannya. Walau hanya sebuah pengalihan, dari tsunami yang jelas-jelas telah meninggi di belakangnya.

Bersambung ...

Komen ya bagaimana gaya penulisanku. Aku merasa masih ada yang kurang. Moga kalian masih nunggu lanjutannya ya ....

Alice In The Marriage (Sasu fem Naru) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang