1. PAST LIFE

1.5K 117 21
                                    

Kedua telapak tanganku sibuk membekap mulut yang hampir menjerit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kedua telapak tanganku sibuk membekap mulut yang hampir menjerit. Bola mataku nyaris menggelinding dari tempatnya. Kubaca sekali lagi pengumuman di layar laptop. Mataku enggak terganggu, kemampuan otakku juga enggak bermasalah. Aku memang enggak salah membacanya. Aku benaran diterima di universitas yang kuimpikan.

Kali ini kubiarkan mulutku memekik kegirangan. Enggak kutahan juga tubuhku yang melompat-lompat seperti seekor kangguru. Aku memang pantas merayakan keberhasilan ini, kok. Enggak sia-sia selama ini sebagian besar waktu kuhabiskan untuk menekuni semua buku pelajaran. Semua kerja kerasku terbayar lunas dengan hasil memuaskan.

Aku masih melompat-lompat saat pintu kamarku dibuka dari luar. Aku berhenti melompat untuk melihat siapa yang datang. Wanita dengan rambut bergelombang cokelat gelap berdiri tepat di ambng pintu. Satu tangannya bertengger di pinggang ramping hasil olah raga rutin di pusat kebugaran ternama di kota ini. Mata cokelat gelapnya menatap penuh tanda tanya ke arahku.

"Ada apa, sih? Berisik banget," ketus wanita tadi yang enggak lain adalah mamaku. Satu alisnya terangkat.

Aku menarik ke dua sudut bibir ke kiri dan kanan, menciptakan lengkungan senyum terbaikku. "Mama harus lihat ini," kataku sambil mendekat ke arah meja belajar, di mana laptopku berada.

"Apaan, sih?" tanya Mama yang masih saja nggak beranjak dari tempatnya.

"Duh, buruan, deh, ke sini," kataku lagi sambil membuat gerakan memanggil dengan tangan kananku.

Dengan enggan, Mama mendekat ke arahku. "Awas aja kalau sampai enggak penting," ketus Mama.

"Sebaliknya, kalau sampai ternyata ini penting, Mama harus traktir aku sepatu yang aku incar di market place ya," tantangku enggak mau kalah.

Meskipun enggak menyahut, tapi Mama membuat gerakan mencibir dengan bibir tipis yang ia pulas lipstick merah cabai kesukaannya. Aku menarik tangannya agar langkah Mama lebih cepat. Setelah memaksa Mama duduk dengan cepat di hadapan laptop, aku langsung menunjukan pengumuman penerimaan mahasiswa baru UGM. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan ke atas. Senyumnya seolah menggambarkan kemenangan.

Ya, kami memang selangkah lebih dekat dengan tujuan kami selama bertahun-tahun ini.

"Nggak sia-sia Mama ngabisin uang buat bayar kebutuhanmu, Mai," kata Mama penuh dengan rasa bangga.

"Kan, Papa juga ikut biayain aku, Ma." Aku menimpali mama dengan nada pelan. Aku khawatir menyulut kekesalan mama.

Mama adalah wanita yang baik, perhatian padaku dan selalu menjadikanku prioritas utamanya. Namun, itu dulu sebelum negara api menyerang. Sekarang, mama lebih mirip mesin anjungan tunai mandiri berjalan. Mama sudah enggak punya banyak waktu untuk menemaniku, mendengarkan ceritaku, memasak makanan kesukaanku. Saat melihatku menangis, mama lebih memilih memberiku berlembar-lembar uang ratusan ribu daripada menanyakan alasanku menangis.

BRAINWASH (COMPLETED)Where stories live. Discover now