Eyang Kung menarikku kedalam dekapannya. Di belakang Eyang Kung, Eyang Uti membelai lembut rambutku. Matanya sudah basah sejak meninggalkan rumah tadi.
"Jaga dirimu baik-baik ya, Nduk," pesan Eyang Kung sambil menepuk punggungku.
Aku mengangguk sambil mempererat pelukan pada tubuh kurus eyang kung. Aku enggak pernah menyangka akan seberat ini meninggalkan Eyang Kung dan Eyang Uti. Selama ini aku terlalu sibuk menyusun rencana untuk membawa kembali kebahagiaan keluargaku, hingga aku lupa bahwa bukan hal mudah berjauhan dengan kedua orang yang sudah merawatku penuh cinta sejak kecil.
"Sudahlah, Pak, Bu. Jangan memberatkan langkah Maira. Toh, Maira bukan mau pergi berperang ke Israel, kok. Maira cuma mau kuliah," kata Mama lengkap dengan kerlingan mata jengahnya.
Cepat-cepat kuhapus bulir bening yang sudah menggelayuti bulu mata. Jangan sampai Mama melihat aku menangis. Mama paling benci mendapatiku menangis. Makanya, Mama lebih memilih menggelontorkan uang untuk menghentikn tangisanku daripada menghiburku. Aku enggak ingin menciptakan perdebatan antara mama dan kedua eyangku.
Kupaksakan seulas senyuman untuk mengenyahkan kekhawatiran di benak Eyang Uti dan Eyang Kung. "Maira bakal baik-baik aja, Kok. Betul kata mama, Maira cuma mau pergi kuliah, masih di Indonesia, masih sama-sama pulau jawa. Eyang Kung dan Eyang Uti bisa kapan saja jenguk Maira ke Jogja." Kutatap Eyang Kung dan Eyang Uti bergantian. Kuharap tatapanku bisa meyakinkan mereka.
Eyang Kung mengangguk untuk menimpali omonganku. Entah anggukan setuju atau sekadar menguatkan saja.
"Nek koen uwis ora kerasan ndhek kono, muliho yo, Nduk Ayu,"[1] kata Eyang Uti setelah mendekat ke arahku. Tangan keriputnya menyentuh pipiku. Kelabu menggelayuti wajah senja Eyang Uti.
Aku mengangguk sambil menggigit bibir dalamku agar enggak menangis. "Doakan Maira supaya betah di sana, ya," sahutku setelah berhasil mengendalikan gelombang air mata.
Suara decakkan Mama sukses menahan diriku agar enggak larut salam suasana sedih. Aku membasahi bibir kemudian meneguk saliva kepayahan.
Setelah melirik sekilas pada arloji di pergelangan tangannya, Mama berkata, "sudah sana cepat masuk. Keretanya sebentar lagi berangkat."
Aku mengangguk patuh pada Mama. Setelah mencium punggung telapak tangan Mama, Eyang Kung dan Eyang Uti, aku berjalan masuk ke pintu keberangkatan. Aku langsung menuju jalur enam di mana kereta yang akan membawaku ke Yogyakarta berada.
Awalnya aku berniat menggunakan kelas ekonomi, tapi Mama bersikeras menyuruhku membeli tiket eksekutif. Mama bilang, "jangan bikin malu. Masa anak Direktur Marketing otomotif ternama naik kereta kelas ekonomi."
Semua perhatiannya padaku hanya untuk menyelamatkan gengsinya. Kadang aku berpikir, apa Mama pernah benar-benar memikirkanku? Apa Mama pernah benar-benar peduli padaku?
YOU ARE READING
BRAINWASH (COMPLETED)
Teen FictionMaira Zanitha Gunardi memutuskan meninggalkan Mama, Nenek dan Kakeknya di Surabaya, demi melanjutkan kuliah di Yogyakarta dan tinggal bersama Papa serta keluarga barunya. Semua dia lakukan demi mengembalikan keutuhan keluarganya. Pertemuannya dengan...