Aku menahan langkah di dekat pintu utama rumah papa. Kukerahkn kekuatan untuk mempertajam indera pendengaranku. Aku enggak salah mendengar, ini benar-benar suara mama. Menyadari dugaanku benar, jantungku langsung memompa cepat. Untuk apa mama ada di sini? Apa yang mama lakukan?
"Jangan sok suci kamu, Ambar! Semua ini salahmu. Kalau bukan karena kamu, Gunardi pasti sudab kembali padaku!" Itu suara mama. Suaranya terdengar bergetar penuh kemarahan dan kesedihan.
"Cukup, Nila," bentak papa yang juga membuatku berjenggit.
Aku baru saja merasa bersalah pada papa dn keluarganya, tapi mendengar mama membuatku kembali merasakan pedihnya hidup kami di masalalu. Kali ini, papa masoh juga enggan membuka hatinya. Papa masih saja enggak menyadari orang yang selama ini tulus menunggunya.
"Enggak usah mendramatisir, Nila. Kalaupun enggak ada Ambar di dalam hidupku, belum tentu aku sudi kembali padamu," kata papa yang seperti pedang menggunus tepat ke dadaku yang kurasa juga menusuk hati mama.
Gelombang kesedihan kembali menerpaku. Aor mata kembali menggelayut di pipiku. Sebenci itukahpapa pada mama?
"Jangan lupa, Nila. Kamu penyebab pereraian kita. Ketamakanmu yang membuat kamh lupa cara bersyukur. Kamu enggak pernah puas dan selalu merasa kurang dengan gajiku. Sampai akhirnya kamuberselingkuh dengan bossku demi bisa bergaya bersama teman-teman sosialitamu?"
Kali ini ucapan papa membuatku terkejut. Belasa tahun aku hidup dengan dicekoki cerita tentang perpisahan papa dan mama, tapi enggak pernah sekaligus mama membahas hal ini.
Aku berharap mama membantah atau mengatakan bahwa apa yang papa katakan adalah fitnah, tapi hingga menit berlalu yang terdengar hanya isakan mama. Apa ini artinya ucapan papa benar?
"Dua kali, Nil, dua kali. Kamu berselingkuh dariku. Yang pertama aku bisa memaafkan, tapi kedua kalinya kamu berselingkuh sampai ke kamar hotel, lelaki mana yang sudi memaafkan kelakuanmu?" sinis papa lagi. "Meski begitu, apa pernah aku menjelekkan kamu di depan Maira? Apa pernah aku membuka aibmu pada anakku? Enggak, Nil. Enggak pernah secuilpun aku membuka aibmu. Aku enggak mau Maira terluka karena perbuatanmu. Aku lebih memilih menjaga perasaan Maira daripada egoku."
Fakta yang terucapkan dari mulut papa seperti sambaran petir bertubi-tubi untukku. Kakiku lemas, aku jatuh terduduk di dekat pintu. Sekuat tenaga aku menahan tangis dan isakanku. Aku enggak mau mereka menyadari kehadiranku.
"Kamu pikir aku enggak sakit hati dengan perbuatan kedua orang tuamu yang melarang aku menjenguk Maira? Aku bisa saja menuntut hak asuh atas Maira, terlebih karena kelakuanmu dan kedua orang tuamu, tapi lagi-lagi aku memikirkan kebahagiaan Maira. Apa pernah kamu memikirkannya juga, Nil? Apa kamu pernah memprioritaskan kebahagiaannya? Yang kamu tahu cuma meracuni otak dan hati Maira yang polos," cecar papa lagi.
"Jangan melempar kesalahan, Gunardi!" Kata mama dengan nada tinggi. "Akui saja kalau kalian memang sudah menjalin hubungan sebelum kita bercerai. Jangan jadikan perselingkuhanku sebagai pembenaran perselingkuhanmu."
"Apa buktinya kalau kami berselingkuh?" tantang papa.
Dari tempatku duduk, aku bisa melihat lebih jelas ke arah sumber keributan di rumah ini. Mama Ambar berdiri di belakang papa, satu tangannya mengusap punggung papa. Sedangkan Evalia mematung di dekat anak tangga tepat dibelakng mama Ambar dan papa. Mama berdiri di hadapan papa dan mama Ambar. Tangannya terangkat dan menunjuk tepat ke arah Evalia.
"Dia buktinya," kata mama dengan suara penuh kebencian. "Anak haram itu buktinya."
Evalia mulai menangis, sedang wajah mama Ambar memerah. Dia maju satu langkah demi mendaratkan sebuah tamparan keras tepat di pipi mama.
YOU ARE READING
BRAINWASH (COMPLETED)
Teen FictionMaira Zanitha Gunardi memutuskan meninggalkan Mama, Nenek dan Kakeknya di Surabaya, demi melanjutkan kuliah di Yogyakarta dan tinggal bersama Papa serta keluarga barunya. Semua dia lakukan demi mengembalikan keutuhan keluarganya. Pertemuannya dengan...