(4)

5.4K 245 2
                                    


Selang sejam setelah gue bertukar identitas dengan widuri sebagai teman sekosan ridwan, gue segera pasang mode posif dalam obrolan mereka yang tampak antusias bahas soal rencana prosesi pernikahan ridwan dengan widuri. Mulai dari masalah sewa gedung resepsi, jasa katering, sampe pemilihan gaun pengantin yang sesuai dengan budget mereka.

Sesekali mengangguk dan kadang berucap singkat sebagai balasan. Jemari ridwan sigap tangkap tangan gue pas gue hendak beranjak dari rombongan mereka. Mengelus lembut punggung tangan gue seakan bilang kalo semua akan baik saja.

Ridwan segera sambar peluang angkat suara begitu ada jeda sepersekian detik sebelum buk farida lanjut bicara. “Mohon perhatian, ada beberapa info penting yang mesti kalian dengar,” buka ridwan dengan suara lantang setelah berdeham sejenak.

Refleks, mereka menoleh serentak ke arah ridwan dengan raut penasaran. Termasuk gue yang menatap bimbang tetap ke mata ridwan seakan bilang kalo sekarang bukan momen tepat untuk mengumbar soal hubungan kami di depan mereka.

“Pertama; saya sudah memiliki pendamping hidup sendiri,” ungkap ridwan mantap sambil mengerling nakal sekilas ke gue yang spontan menunduk malu.

Muka buk farida seketika berubah merah padam. Berbeda dengan reaksi pak hamid yang hanya menghela napas berat seakan sudah bisa menebak rencana pertunangan itu akan berakhir berantakan. Sementara widuri memandang bergantian antara ridwan dan buk farida dengan tatapan bingung.

“Kedua; kami telah putuskan akan berbagi suka maupun duka dalam menjalani sisa hidup kita bersama,” sambung ridwan sambil menarik napas sejenak untuk memberi jeda bagi mereka mencerna informasi itu. “Dan terakhir, dia ada di dalam gedung ini sekarang. Bersama kalian.”

Serempak menegok ke arah gue yang berdiri selangkah di belakang mereka dengan raut keperangah setelah kehantam gelombang kejut dari pengakuan ridwan barusan.

Gue beneran bingung gimana mesti bereaksi sama tatapan menusuk dan penuh tuduhan mereka seakan gue baru aja mengencingi sepatu mahal mereka.

Buk farida sontak mendesah nggak percaya. “Kamu pasti lagi becanda,” gelak buk farida seakan ridwan baru melontarkan guyonan paling lucu. Meski kedengaran sumbang.

Ridwan menggeleng pelan. “Ridwan serius, amak.”

Tanpa sadar gue mendesis menahan nyeri begitu pipi kanan ridwan bersambut tamparan keras buk farida. Menggema cukup nyaring ke setiap sudut ruangan bikin segelintir orang yang masih tinggal di dalam, refleks menoleh ke sumber suara dengan ekspresi kaget tergambar jelas di wajah bingung mereka.

“Sampai mati pun, amak nggak bakalan kasih restu sama hubungan sesat kalian!” sumpah buk farida sambil menunjuk tepat ke dada ridwan dengan penuh angkara dan berderap pergi setelah meludah ke karpet lantai gedung itu.

Widuri tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi urung dan memilih mengejar buk farida yang hampir tiba di pintu keluar gedung. Sementara pak hamid hanya mengedik bahu lemas dan menepuk pelan pundak ridwan sebelum bergegas menyusul kedua wanita itu.

“Kamu ... nggak apa?” tanya gue sambil melangkah ke hadapan ridwan trus mengelus pipi bekas kena tamparan buk farida.

Ridwan mengangguk sambil mengusap pipi kanan itu ke telapak tangan gue dan tangkup kepala gue dengan kedua tangan. “Kapan aku bisa ketemu bokap sama emak kamu?”

“Udah kebelet kawin, nih?” ledek gue sambil cubit gemas lengan kekar ridwan.

“Aku takut kehilangan kamu kalo terus menunda meminangmu,” aku ridwan jujur sambil tempelin jidat ke kening gue.

“Jangan sekarang, wan,” tahan gue sambil taruh telunjuk ke bibir ridwan yang udah siap sosor gue dengan pipi merona bikin muka ridwan kontan merengut kesal. “Masih banyak orang di sini.”

“Yah, benar. Nggak aman di sini. Masih ada predator liar yang lagi mengintaimu sekarang,” sahut ridwan sambil menatap satu objek di belakang bahu gue.

Refleks, gue balik badan dan mengikuti arah pandangan ridwan. Saat itulah gue liat pak anggoro di barisan kursi tamu paling belakang, sedang tatap kami dengan sorot setajam belati yang seakan mampu mengupas kulit kami.

“Kamu nggak percaya sama aku?” tuduh gue sambil menoleh ke arah ridwan yang masih memaku mata ke sosok ancaman di belakang sana.

“Yah aku percaya dia nggak bakal berenti cari celah biar bisa rebut kamu dari tanganku,” sahut ridwan sambil genggam tangan gue dan bersama, kami jalan menuju pak anggoro yang masih bergeming.

Entah kenapa, tenguk gue tetiba merinding liat senyum misterius pak anggoro seakan lagi susun rencana mengerikan buat retakin hubungan gue sama ridwan, meski cuman sekilas pandang pas gue jalan lewatin dia sebelum sampe di pintu keluar gedung.

Karena udah menjelang sore dan gue sama ridwan belom makan siang, jadi kita sepakat mampir bentar ke kedai makan pinggir jalan buat isi perut.

“Kamu nggak doyan, sal?” tanya ridwan pas liat gue bengong aja liatin sepiring nasi lauk ikan tongkol, tumis kangkung dengan siraman kuah opor ayam. “Kok, nggak dimakan?”

“Doyan, kok. Aku cuman sempet kepikiran aja soal....”

Sebelah alis ridwan keangkat sepintas lalu saat menunggu sambungan kalimat gue. “Soal?”

“Soal wali kamu,” serobot gue cepat sebelum ridwan makin curiga sama kegundahan hati gue. “Kalo nanti kita menikah, jelas kamu butuh seorang wali buat jadi saksi.”

Nggak gue sangka, ridwan malah kasih senyum cerah ke gue. “Aku udah siapin cadangan, kok. Antisipasi buat keadaan darurat kayak sekarang.”

Spontan, gue keperangah. “S-siapa?”

“Pak samsyul,” jawab ridwan yakin sambil arahin sesendok penuh nasi dan suwiran daging ayam goreng ke mulut gue. “Kamu nggak kenal sama beliau?” sambung ridwan begitu liat kening gue mengerut.

Gue sontak mengangguk, trus buka mulut sambut suapan nasi dari ridwan. Padahal kita udah beli dua porsi dengan lauk beda.

“Bokap si dani,” terang ridwan sukses bikin gue semburin butiran nasi bercampur ludah gue ke muka ganteng ridwan sambil tepukin dada usir batuk dari mulut gue.

Segera gue sambar segelas es teh dingin dan minum habis dalam sekali teguk. “Sori, a-aku ... nggak sengaja,” sesal gue segera tundukin kepala sambil remasin ujung kaos.

Sempat gue kira ridwan bakalan omelin gue, tapi tebakan gue salah. Ridwan malah ambil selembar tisu, trus angkat dagu gue dengan lembut dan mulai bersihin lelehan liur beserta sebutir nasi di sudut bibir gue. Bikin gue tambah merasa bersalah udah ludahin muak dia.

“Kamu masih cemburu?” tanya ridwan sambil menatap lurus jauh ke dalam mata gue.

“Dani itu muka dua, wan. Nggak layak dipercaya,” sahut gue meski merasa bersalah, tapi fakta ridwan masih temenan sama dani bikin gue rada emosi.

“Tapi kan kamu nggak tau gimana sifat pak syamsul,” debat ridwan masih coba bujuk gue biar setuju sama dia. “Selama menumpang sementara di rumah mereka dulu, beliau selalu bersikap baik ke aku. Bahkan udah anggap aku macam putra dia sendiri.”

“Buah nggak bakal jatuh jauh dari pohonnya,” balas gue mengutip pepatah lama.

Ridwan kedik bahu sama keteguhan hati gue. “Trus, mau kamu gimana?”

“Aku nggak peduli siapa. Mau orang gila atau gelandangan, kek,” jawab gue bersikukuh sambil buang muka sebal dan sedekapin tangan ke dada. “Asal jangan sama satu anggota keluarga si dani. Aku nggak suka.”

Gue yakin kehadiran dani malah bakal bikin kacau nanti. Lagian nama dani berada di urutan paling bawah dalam daftar opsi bantuan gue. Nggak bakal sudi gue terima uluran tangan selama masih ada orang lain bisa tukar peran dia buat bantu gue sama ridwan.

“Aku bisa tanya ke tetangga kamar kosan kita. Kali aja ada di antara mereka mau bantu,” usul gue setelah tepekur cukup lama.

Kali ini, giliran ridwan yang tampak kurang setuju. “Oh, oke. Kita bisa coba mulai dari mereka dulu.”

To be continue >>>

Gelora Cinta saat Mudik Lebaran 3 [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang