(7)

4.2K 214 7
                                    


Gue putusin tunggu bokap balik dari masjid sebelum tumpasin rasa penasaran bang ilham akan identitas ridwan dan rombongan keluarga pak syamsul serta tujuan mereka datang ke rumah bokap malem itu.

Ridwan beringsut gusar seakan mulai nggak nyaman sama tatapan menusuk bang ilham dan sorot teduh emak gue meski ada segurat tanya tersemat dalam kerutan di antara dua alis, agak meredakan keresahan kami.

Gue nggak mau ambil resiko bang ilham dan ridwan saling baku hantam. Jelas gue nggak bakal sanggup pisahin mereka kalo benar sampe kejadian.

Selang sepuluh menit kemudian yang berasa seabad, bokap melenggang masuk ke rumah setelah ucapin salam. “Lho, kenapa pada bengong?” tanya bokap begitu liat kami cuman duduk saling tatap.

Bang ilham segera bangkit, biar bokap bisa duduk sebelahan sama emak di sofa berlengan seberang gue sama ridwan. Kemudian pindah posisi berdiri di belakang sofa mereka sambil sedekapin tangan ke dada macem algojo siap penggal kepala kalo kami kevonis bersalah.

“Jadi, ada masalah apa ini?” tanya bokap setelah duduk santai, trus pandang mata kami bergantian dari gue sampe ke dani yang duduk paling kanan di sofa panjang sisi samping dari arah pintu depan. “Bisa tolong jelasin pada kami alasan kalian datang kemari?”

Seperti selang pipa baru kelepas dari sumbatan, setiap kata mengalir deras dari mulut gue dalam satu tarikan napas. Bikin gue ketegun pas sadar semua pasang mata di ruang tamu itu ketuju ke gue dengan beragam ekspresi.

Emak tampak kaget campur takjub macem gue bocah bisu yang baru bisa ngomong. Kalo bokap keliatan agak bangga macem detektif yang sukses menebak misteri dengan benar. Bertolak belakang sama reaksi bang ilham yang lebih mirip bocah lagi ulang tahun yang baru menemukan seekor kodok dalam kotak kado.

“Oh ... kita mesti segera sebar undangan ke tetangga sekitar,” celetuk emak antusias meski rada panik setelah dengar pengakuan gue. “Keburu nggak, ya? Duh, kenapa kamu kasih kabar dadakan begini sih, sal.”

Refleks gue geleng kepala. “N-nggak usah, mak. Lagian sejak awal, isal nggak ada rencana pengin gelar pesta besar. Cukup kerabat dekat keluarga kita aja yang hadir kondangan. Itupun kalo mereka nggak keberatan, sih.”

“Pasti bakalan bikin gempar warga sekampung kalo berita soal pernikahan kami sampe kesebar,” sambung ridwan dukung keputusan gue soal kartu undangan pernikahan kami.

“Oke, kalo itu kehendak kalian,” sahut emak sambil mengangguk paham, trus tengok ke arah bang ilham. “Ham, bisa kamu kabarin si arin sama fitri? Bilang aja kalo adek bungsu mereka mau menikah pekan ini.”

“Nggak ada pulsa, mak,” balas bang ilham sungkan sambil kedik bahu, jalan menuju pintu kamar depan, trus banting daun pintu begitu masuk kamar. “Suruh aja isal. Dia yang mau kawin, kenapa mesti ilham yang repot.”

Tuh kan, bener. Bang ilham pasti nggak bakalan setuju.

Nggak mau suasana tambah suram, gue pun segera bangkit dari sofa setelah tepuk pelan paha kanan ridwan. Kemudian susul bang ilham ke kamar depan.

“Bang,” panggil gue setelah ketuk pintu pelan. “Isal ... boleh masuk?”

Karena nggak ada sahutan dari dalam, gue putusin buka pintu trus main selonong masuk.

Di dalam, bang ilham berdiri hadap ke jendela. Segera balik badan saat denger derit pintu kebuka.

“Abang ...,” gumam gue begitu berdiri selangkah di depan bang ilham. “kenapa, sih?”

“Apa kamu tau, sal? Selepas lebaran kemarin, abang udah nggak pernah sewa lonte meski lagi sange,” aku bang ilham dengan senyum miris sambil geleng kepala. “Bahkan sisihin gaji biar bisa bikin tabungan.”

Gelora Cinta saat Mudik Lebaran 3 [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang