Dia atau Dia

85 16 6
                                    

Walaupun bebas dalam memilih jodohmu sendiri,
ingatlah bahwa Dia sudah menetapkan pilihanmu


“Jika Abah, Umu dan Nadia berkenan, saya akan menggantikan posisi Hamdan!” Tegas, lantang, namun tetap sopan.

Seminggu berlalu, acara pernikahan itu semakin dekat. Jika dibatalkan tentu akan banyak biaya yang sia-sia karena rata-rata sudah dibayar lunas. Belum lagi akomodasi beberapa tamu dari negara tetangga yang sudah datang ke Indonesia untuk menyaksikan acara sakral pernikahan Nadia dan Hamdan.

Sayang, hingga saat ini keberadaan Hamdan belum diketahui. Jika pesawat terbakar atau meledak, pasti burung besi itu meninggalkan kepingan-kepingan dari bangkai pesawat yang  terbelah, tetapi  tidak ada tanda-tanda  puing pesawat ditemukan.

“Haikal, kita harus bicara,” ucap Nadia penuh penekanan.

“Abah, Um saya permisi.”

Nadia menarik tangan Haikal, membawanya menjauh dari ke dua orang yang masih bercakap-cakap di ruang makan.

Sesampainya di teras, Nadia melepaskan tangan Haikal kasar seraya berkata. “Apa-apaan sih? Pakai acara mau nikah sama gue? Memangnya lu pikir gue mau?”

“Aku kasihan sama abah. Lihat saja beliau, melihatmu terpuruk seperti sekarang membuat abah kurang memperhatikan kesehatan. Ingat, Nad! Abah sakit jantung. Aku hanya ingin balas budi sama abah atas segala kebaikan terhadap keluargaku dulu.”

“Lu itu sahabat gue Kal. Kenapa tak sedikit pun..., lu ngerti perasaan gue?”

“Aku akan membantumu, Nad. Setelah kita menikah, aku janji, kita akan cari Hamdan bersama.”

Nadia kaget. Tatapannya terus mengintimidasi Haikal. Seolah tidak percaya dengan ucapan Haikal.

“Lu ini pria normal, Kal. Mana mungkin gue percaya?”

Haikal membuang napas kasar, ia sangat tahu jika sahabatnya ini seorang keras kepala. Jadi, apa pun yang diucapkan untuk meyakinkan Nadia, pasti disanggah.

“Oke, gue setuju. Tapi sekali lu berani nyentuh gue, kita cerai.”

“Hanya itu?” tantang Haikal.

Nadia menatap kesal Haikal. Dia menyepelekan tantangan Haikal. “Kita lihat nanti!”

***

Keluarga Hamdan yang diwakili oleh pamannya, menyambut baik acara pernikahan antara Haikal dan Nadia. Meskipun kecewa, tetapi paman harus berbesar hati membatalkan khitbah yang beberapa bulan lalu telah terjadi.

Hamdan memang seorang yatim piatu. Dia dibesarkan oleh keluarga pamannya sejak ayah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibu meninggal saat melahirkan adiknya. Dari kecil Hamdan selalu mendapatkan bea siswa hingga paman hanya perlu mentransfer uang saku untuknya.

“Mbak, Mbak Nadia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Semoga pernikahannya nanti lancar, Mbak. Aku juga tidak tahu kalau Mas Hamdan akan secepat ini pergi, menyusul bapak dan ibu yang sudah tenang di sana.” Isak tangis Shintya, adik Hamdan tak kuasa dibendung.

“Iya, Shin. Maafkan Mbak.” Tangis Nadia tak kalah sedihnya. Rencana pernikahan dengan lelaki yang selalu menjaga hatinya selama 10 tahun ini, sirna. Walaupun masih ada waktu 4 hari, tetapi sepertinya akan sia-sia. Tim Sar dan KNKT terkendala medan yang sulit, cuaca ekstrem serta pasangnya air laut.

Hamdan, tunggu aku. Aku akan datang menjemputmu . Kita harus menikah, meskipun bukan sekarang. 

Bisik Nadia saat acara khitbah yang dilakukan keluarga Haikal berlangsung hari yang sama. Selanjutnya Haikal pergi ke Kantor Urusan Agama untuk menjalani pemeriksaan dan pengajuan berkas. Haikal hanya ditemani abah, sedangkan  Nadia pamit ke rumah sakit karena ada praktik.

Hai, Nad!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang