Pernikahan

99 14 3
                                    

Bahkan sebuah lilin tak pernah menyalahkan api yang membakarnya,
dia bisa melepaskan dengan ikhlas, meskipun melenyapkan dirinya

Resepsi pernikahan baru saja selesai. Sekarang Haikal dan Nadia sudah resmi menjadi suami istri. Sah terikat dalam ikatan secara agama dan hukum. Upacara sakral yang mengubah status untuk selamanya.

Banyak tamu datang menghadiri acara pernikahan mereka, tetapi hanya sedikit tamu undangan yang dapat menangkap kesedihan mempelai wanita. Nadia sangat profesional, saat resepsi pernikahan. Dia hanya menangis hebat sesaat setelah akah nikah.

Dia mampu menahan air mata yang hendak jatuh membasahi pipinya. Meskipun sebuah kesedihan ia rasakan tepat saat acara pernikahan.

Sebuah pernikahan yang ia nantikan selama hampir 3 tahun ini, tidak berjalan seperti rencana. Mempelai pria bukanlah kekasih hati, melainkan sahabat yang selama ini dia anggap teman cerita kala dia ada masalah dengan kekasihnya.

Meskipun mereka saling mengenal, tetapi mereka tidak saling mencintai. Huuftt, apa arti ini semua jika akad telah diikrarkan. Mungkin takdir mempersatukan mereka dengan cara ini. Saling menyakiti.

“Aku tahu ini berat untukmu, tapi bagaimanapun, ini jalan terbaik, saat ini,” ucap Haikal menenangkan.

Meskipun terasa berat, mempelai pria mencoba untuk ikhlas menerima semua dengan lapang dada. Bahkan sakit hati juga dialami oleh keluarganya. Sebagian tamu undangan mengira pernikahan ini adalah pernikahan Hamdan dan Nadia, bukan Haikal. Doa dan ucapan selamat dari ribuan tangan yang menjabatnya untuk Hamdan. Bukan dirinya. Undangan yang sudah tersebar tidak pernah direvisi, tidak ada nama Haikal Sandra Dinata di pelaminan, yang tercantum hanya inisial keduanya ‘H&N’ yang terbingkai dalam puluhan bunga mawar merah yang dibentuk menyerupai simbol love.

Air mata Nadia tidak dapat lagi dibendung, ketika menatap sepasang mata, serta lengkungan indah dari bibir sahabat kecilnya. Ia turut hadir bersama kedua anak dan suami yang tak lain adalah sahabat Haikal. Tangis Nadia semakin menjadi, dalam pelukan sahabat kecilnya. Dia teringat dua tahun yang lalu, Haikal hampir dijodohkan dengan sahabatnya. Namun, sahabat kecilnya lebih memilih pria lain, yang tak lain adalah teman Haikal sewaktu mereka menempuh sarjana kedokteran.

***

Terduduk sambil memandang pantulan diri dari sebuah cermin. Inilah yang dilakukan Nadia sambil membersihkan sisa-sisa make-up yang masih menempel. Seorang diri di sebuah kamar hotel, hanya ditemani oleh sepi yang terasa begitu mencekam. Tidak lama kemudian pintu kamar terbuka, mengalihkan pandangan Nadia untuk melihat siapa yang datang.

“Kenapa belum tidur? Kamu enggak capek? Atau kamu lapar?” tanya Haikal mencoba berbasa-basi sambil melangkah memasuki kamar.

Nadia mendengar pertanyaan pria itu, tetapi ia tidak menjawabnya. Ia terlalu malas berbicara dengan suaminya.

Hening. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berusaha bersuara. Suasana terasa sangat kaku dan dingin. Sepertinya kamar ini membungkam mulut mereka berdua.

Haikal menghela napas, sebelum kembali memulai pembicaraan dengan Nadia. “Boleh kan aku numpang mandi di sini? Kamar Abah masih ada Umu, aku sungkan berada di sana.”

Tidak ada respons apapun dari Nadia. Orang yang biasanya banyak bicara itu, kini menjadi Manusia Es. Pendiam, dengan tatapan yang sangat menyudutkan.

“Nad, aku tahu kamu dengar apa yang aku katakan. Jadi, tolong jawab aku jangan diam terus seperti ini.”

“Jadi maksudmu, setelah menempatkanku dalam kesulitan ini, kamu pikir aku begitu saja bisa menerimamu. Apa itu yang kamu mau?”

“Apa sih Nad, maksud kamu? Lagian aku hanya izin numpang mandi di sini, itu saja,” pinta Haikal.

Beberapa saat setelah Haikal masuk kamar mandi, Nadia segera keluar dari kamar. Rasanya dia perlu mendinginkan rasa panas yang masih berasa di hati.

Hai, Nad!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang