....
"JUNGKOOK !" Sehun memanggil puteranya yang nyelonong masuk ke dalam rumah, naik ke atas tangga tidak menghiraukan orangtuanya yang sedang duduk di ruang tv. Luhan tersenyum saat ia menoleh, menatap kedua orangtuanya malas.
"Hm?"
"Papa denger kamu bikin masalah lagi di sekolah." Sehun masih jadi satu-satunya orang yang akan bersikap tegas. Tidak menyerah walau seringkali dia kehabisan kata dan mengalah.
Tapi, pasrah dengan perilaku buruk si bungsu hanya akan menghancurkan masa depannya sendiri. sehun tidak mau jungkook tenggelam dalam lukanya, meleburkan kehidupannya karena tingkah tidak terkontrolnya saat ini.
"Jung, sampe kapan kamu mau main-main kayak sekarang? Selama tinggal di Sydney sama Grandma kamu, gak pernah sekali pun kamu bikin masalah kayak sekarang."
"Jadi, Papa mutusin buat buang aku lagi?"
"Kami gak pernah buang kamu!" Sehun menyanggah. Dia berdiri dan menatap puteranya tajam.
"Kami cuma menitipkan kamu ke Nenek kamu sebentar, biar dia gak kesepian di sana," nada suaranya kian melemah.
Jika sudah membahas soal ini, dia selalu hilang kata-kata. sehun sadar semua yang terjadi akibat kebodohannya. Tidak akan ada seorang pun anak yang senang jika sejak umur Enam tahun, dia seperti 'diusir' dari kehidupan orangtuanya.
"Papa atau Mama gak pernah ngajarin aku apa pun. Kalian juga gak ngasih aku apa pun selain uang." Jungkook bicara tetap dengan nada datarnya. luhan bergetar mendengar jawaban menyakitkan puteranya. Dia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, tetap mengukir senyuman lebar menyembunyikan perih hatinya. Dia menjadi ibu yang sempurna untuk younghoon, tetapi menjadi ibu terburuk untuk jungkook.
"kook, Papa gak masalah kalo kamu benci sama Mama atau Papa"
dia tidak bermaksud mengatakannya, tidak ada orangtua yang bersedia dibenci oleh darah daging mereka sendiri. Tapi dia memang tidak punya pilihan lain. Sehun mengimbuhkan,
"tapi Papa mohon jangan ancurin masa depan kamu sendiri kayak gini. Papa tau kamu sebenernya anak yang baik."
"Darimana Papa tau?" ia menyeringai sinis. Airmata bercucuran dari dua netra sang Mama.
"gak usah sok deket gitu deh. Bikin eneg tau gak?"
"Jungkook!"
iatidak menghiraukannya lagi. Dia bergegas menaiki tangga hendak menuju kamarnya. Merasa bosan diceramahi seperti ini baik di sekolah atau pun di rumah.
***
Flashback"Jungkook ... maaf, karena Kakak kamu harus pisah lama dari Mama juga Papa." younghoon tersenyum tipis. Di usianya yang ke Lima belas, hoonie mengajak adiknya pulang ke rumah mereka yang di seoul. Sengaja pergi Sydney mengungkapkan permohonannya ditemani sang Mama.
Saat itu, jungkook masih berusia Tiga Belas tahun. Tapi dia sudah cukup mengerti, alasan kenapa sejak Tujuh tahun yang lalu dia diminta orangtuanya tinggal bersama sang Nenek? Tidak pernah menikmati sarapan yang dibuatkan Mamanya lagi. Tidak pergi dan dijemput Papa untuk pergi sekolah.
Katanya kakaknya sakit. Dan ia membutuhkan perhatian lebih.
Dia sudah cukup terbiasa tinggal bersama neneknya. Tidak pernah lagi bertanya kapan Mama dan Papa akan mengajaknya pulang dan tinggal bersama? jungkook menjadi pribadi yang pendiam dan tidak banyak bertingkah. Dia awalnya pikir dipaksa tinggal dengan neneknya karena dia anak nakal dan tidak sepintar kakaknya.
Sampai kelas Empat Elementary School, dia tetap beranggapan demikian dan berusaha menjadi pribadi yang tidak banyak tingkah juga kebanggaan di sekolahnya. Tapi, sekali pun Mama dan Papa dalam setahun bisa sampai Empat kali mengunjunginya, mereka tidak pernah mengajak jungkook kembali ke korea. Mereka bersikap dingin seolah ia bukanlah anak mereka.
Dan kini, tiba-tiba saja hoonie yang mulai mengerti kondisi yang terjadi, mengajaknya pulang ke rumah. Dengan ringannya, seolah di antara mereka tidak pernah terjadi apa-apa.
"Ayo kita pulang kook. Kakak udah ngomong sama Mama juga Papa. Kita bisa tinggal sama-sama lagi."
Di luar dugaan, jungkook yang baru pulang sekolah dan menatap datar dirinya memiringkan kepala. Berkedip sekali, dan bertanya
"Kamu siapa?"
Younghoon masih bersabar. Mereka memang jarang bertemu. Jadi wajar kalau jungkook melupakan wajah yang nyaris menjadi replika wajahnya sendiri. Anak berusia Lima Belas yang memakai mantel tebal dibalut syall itu mengulurkan tangannya. Dia menjawab,
"Ini Jeon Younghoon, kakak kamu."
"Oh." jungkook menyahut. Dia tersenyum sinis, dan mengimbuhkan,
"Si penyakitan itu? Kapan matinya?"
"Jungkook!" Luhan yang mendengarnya dan sejak tadi berdiri di sisi younghoon marah. Dia menyentil telinga jungkook keras. Membuat si bungsu meringis kesakitan.
"Kamu gak boleh ngomong kasar gitu sama kakak kamu. Mama gak pernah ngajarin kamu ngomong sejahat itu!"
"Hah?" ia menelan ludah. Dia mendongak, balas menatap geram sang Mama.
"Jangan sok gitu bisa? Emangnya Mama pernah ngajarin aku apa?"
Luhan tercenung. Tertohok atas pernyataan si bungsu yang diluar dugaannya.
"Sejak aku sadar kalo aku dibuang, aku udah nganggap kalian semua mati." Jungkook berjalan beberapa langkah melewati keluarganya. Dia menyentuh telinga kanannya yang panas. Mendengus kasar dan berkata,
"jadi jangan suka seenaknya muncul dan sok akrab kayak gini. Pengen muntah rasanya."
"Mama harusnya gak nyentil jungkook" Hoonie meringis sedih. Saat yakin jungkook sudah berlalu jauh, dia menoleh menatap sang Mama yang menangis tersedu-sedu. Menyadari kesalahan dan kebodohannya di masa lalu.
"Kita udah nyakitin hatinya separah ini, gak seharusnya kita juga nyakitin fisiknya."
younghoon menundukkan kepala dalam. Andai saja dia lebih awal sadar, kalau adiknya pergi ke Sydney bukan atas pilihannya sendiri. Tapi karena hoonie selalu iri dengan kebebasannya, mungkin hubungan mereka sekarang tidak akan serumit ini.
Perkataan jungkook tadi, menggambarkan seberapa dalam luka yang dialami adiknya itu? Seberapa sakit jalan hidupnya yang bahkan dijauhi keluarganya sendiri?
Hoonie sama sekali tidak tersinggung apalagi marah mendengar semua ucapan kasarnya. Dia justru sedih, karena sampai detik ini belum bisa memberikan adiknya sesuatu yang berharga dan juga layak dikenang. hoonie sadar hidupnya tidak akan lama. Dan saat menyadari bahwa kehidupannya sudah menyakiti jalan hidup adiknya sampai separah sekarang, itu benar-benar membuatnya terluka.
"Maafin Kakak, kook..."
Tbc....