-04-

22 4 0
                                    














Terkadang Anya pernah bertanya pada dirinya sendiri. Apakah orang tuanya mencintainya? Apakah ia benar anak kandung mereka? Apakah mereka menganggapnya berharga? Apakah suatu hari nanti orang tuanya melihatnya sebagai anak bukan barang? Apakah ia bisa mengubah pandangan orang tuanya terhadap dirinya? Apakah dan apakah itu yang selalu ada di benaknya.

Atau tidak Anya bertanya kenapa orang tuanya menyiksanya? Kenapa mereka melakukannya? Kenapa mereka melahirkannya jika dia hanya dijadikan bahan pelampiasan kemarahan mereka? Kenapa mereka membesarkannya jika tidak ingin merawatnya? Kenapa mereka tidak membuangnya saja jika memang mereka tidak menginginkannya? Banyak orang diluar sana yang menginginkan anak tapi tidak bisa. Dan mengapa dari semua banyaknya orang di dunia dia harus berada di keluarga Brandussa? Itu menyiksanya melihat orang diluar sana memiliki keluarga yang menyayangi nya, tapi tidak dengannya.

Jika bisa ia akan berdiri tegak melawan orang tuanya. Tapi ia tahu ia takkan bisa. Orangtuanya terlalu kuat. Anya memang pernah belajar bela diri sewaktu kecil, tapi ia tak mungkin menggunakan pengetahuannya itu kepada orang tuanya. Ia masih sayang orang tuanya, meskipun yaa.. Mereka sayang atau tidak kepadanya.

Anya memang tak memiliki harapan apa apa ketika ia tak sengaja mendengar percakapan orang tuanya malam itu. Memang mereka berdua sudah berdamai dengan masa lalu. Tapi tidak dengan kenyataan bahwa Anya adalah anak darah daging mereka sendiri.

Mamanya memang pernah melakukan kesalahan, dan papanya tahu itu. Papanya tahu dan telah memaafkan mamanya, tapi entah kenapa papanya masih tidak memiliki rasa bersalah kepada Anya.

Anya iri, ia juga ingin di sayang seperti anak seumurannya. Ia juga ingin diomeli mamanya seperti anak seumurannya. Ia sangat ingin bergaul dengan normal seperti anak lainnya. Ia ingin semuanya, tapi perlakuan orang tuanya saat dirumah membuatnya tak bisa bebas.

Ia takut saat keluar rumah dan pulang telat, ia dimarahi. Tidak dicambuki dengan brutal oleh papanya.

Memang di luar papanya terlihat berkharisma dan menawan. Tapi tetap saja di mata Anya papanya adalah monster. Ia tak pernah berani melawan papanya. Sekalipun tak pernah.

Anya merundukkan kepalanya ketika Johnny hampir memukulnya. Melindungi diri sebisa mungkin dari papanya yang merupakan kembaran monster di matanya.

"Makanya kamu tuh nggak usah main main lagi sama si Jeno Jeno itu." Johnny meninggikan nada amarahnya.

Dan Anya tak suka jika Jeno dibawa bawa pada saat seperti ini. Tapi ia hanya bisa diam. Mendengarkan segala omong kosong yang Johnny lontarkan.

"Sana kamu pergi ke kamar! Belajar jan main hape terus!!" Johnny menggeret Anya sampai keluar kamar.

Anya berjalan menuju kamarnya dengan luka disekujur tubuhnya. Mungkin besok ia takkan masuk ke sekolah.

Anya mendudukkan dirinya dia tempat tidurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anya mendudukkan dirinya dia tempat tidurnya. Merenung. Dan tanpa ia sadari air matanya luruh. Air mata yang ia tahan tahan sebelumnya, luruh. Ia hanya menangis dalam diam. Tak berani berteriak, malahan seperti sedang menahan nahan supaya air matanya berhenti.

Ia pun beranjak dan mengarahkan kakinya ke kamar mandi. Berniat membasuh tubuhnya dari darah yang disebabkan oleh kerasnya siksaan yang dilayangkan oleh Johnny.

Ia melepas kain yang melekat tubuhnya pelan pelan, sembari menunggu air bak mandi terisi penuh. Satu persatu kain yang membalut tubuhnya sudah hampir terlepas, bersamaan dengan penuhnya air yang ada di bak mandi tersebut.

Seluruh bajunya tercecer dilantai, meskipun lantainya basah ia tak peduli. Toh, kalo jelek tinggal dibuang. Lalu beli baru lagi.

Anya melihat sebuah silet yang berada di depan kaca, ia mengambilnya.

Ia menyeburkan dirinya di bak mandi, merileksasi otot ototnya. Atensinya mengarah ke sebuah silet yang berada di genggamannya.

Ia mengarahkan silet tersebut ke tangannya. Terasa perih memang, tapi entahlah ia merasakan kepuasan tersendiri saat melakukannya.

Perlahan ia membentuk sebuah garis. Jika satu sudah penuh dengan darah, ia mengarahkannya ke kulit yang sama sekali belum tersentuh oleh tajam nya silet yang ada di tangannya tersebut.

Air dingin yang mengalir dari keran yang sama sekali tak ia matikan menambah rasa puas yang ada di dalam dirinya. Tangannya sekarang seperti kulit zebra, tapi bedanya ini berwarna merah.

Setelah puas ia membuang begitu saja silet yang ada di tangannya. Ia memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam air. Tak peduli ia mati kehabisan nafas sekalipun. Toh, memang ia ingin mati. Jadi biar saja.

Saat ini dadanya sesak, ia ingin keluar. Tapi pikirannya terus berbicara dia harus mati. Pikirannya melarangnya membuka mata. Pikirannya melarangnya naik ke permukaan.

Anya kalap, ia tak tahu harus bagaimana. Ia mencoba mengambil napas, melupakan fakta bahwa ia masih di dalam air.

Tiba tiba wajah Jeno muncul dalam pikirannya. "Anya, janji ya? Nggak boleh tinggalin aku tiba tiba?" suara nya muncul begitu saja di kepalanya.

"HUAH!!" Ia menaikkan kepalanya ke permukaan. Menghirup rakus oksigen di sekitarnya.

Ia mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Bodoh Jeno pasti marah kalo dia tau. Setidaknya itulah pikirannya sekarang.

Ia segera membasuh dirinya lalu keluar kamar mandi. Mengambil kotak p3k yang selalu tersedia di kamarnya.

Ia membalut kedua tangannya dengan perban, meskipun sulit tapi hasilnya tidak seburuk itu. Ia cekatan. Baginya hal ini sudah biasa.

Setelah mengurus dirinya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur. Memejamkan mata dan menyusuri alam mimpi yang terkadang lebih indah daripada kenyataan.

 Memejamkan mata dan menyusuri alam mimpi yang terkadang lebih indah daripada kenyataan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Desideratum - Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang